Pandu Sraya
KAHYANGAN SURALAYA DISERBU MUSUH DARI GUABARONG
Di Kahyangan Suralaya, Batara Indra menerima kunjungan Batara Guru dari Kahyangan Jonggringsalaka dan mempersilakannya duduk di Bale Paparyawarna, dengan dihadap oleh segenap para dewa. Batara Narada juga ikut hadir menyertai kedatangan Batara Guru. Mereka membicarakan keadaan Pulau Jawa yang kini aman tenteram, di mana tiada lagi kerajaan yang berperang untuk tujuan saling menaklukkan. Hanya saja, ada sejumlah kerajaan kecil di tanah seberang yang sering mengganggu kedamaian Pulau Jawa.
Tidak lama kemudian datanglah seorang raksasa bernama Patih Danupaya dari Kerajaan Guabarong yang menyampaikan surat dari rajanya, bernama Prabu Nagapaya. Surat itu berisi lamaran Prabu Nagapaya yang ingin memperistri salah satu bidadari unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu Batari Warsiki.
Batara Indra selaku tuan rumah secara tegas langsung menolak lamaran tersebut, bahwa kaum raksasa tidak berhak menginginkan istri bidadari, kecuali memiliki jasa besar terhadap kahyangan. Patih Danupaya tersinggung dan mengancam bahwa pasukan raksasa dari Kerajaan Guabarong telah bersiaga untuk menggempur Kahyangan Suralaya dan merebut Batari Warsiki secara paksa. Batara Indra pun mempersilakan Patih Danupaya menunggu di halaman Repatkepanasan jika ingin menantang para dewa berperang.
Patih Danupaya segera undur diri kembali ke pasukannya. Batara Indra mohon pamit pula kepada Batara Guru untuk keluar menghadapi tantangan dari Kerajaan Guabarong tersebut.
PERTEMPURAN ANTARA PARA DEWA MELAWAN PARA RAKSASA
Patih Danupaya adalah menteri utama Kerajaan Guabarong sekaligus adik kandung Prabu Nagapaya. Dalam menjalankan tugas melamar Batari Warsiki, ia mendapat kewenangan penuh dari kakaknya. Maka, begitu kembali ke perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa, di mana panakawan Kyai Togog dan Bilung beserta pasukan raksasa Guabarong telah menunggu, ia langsung memberikan aba-aba untuk menggempur Kahyangan Suralaya.
Di lain pihak, Batara Indra dan pasukan Dorandara sudah bersiaga menyambut serangan mereka. Pertempuran sengit pun terjadi di Repatkepanasan. Batara Indra dibantu putra-putranya, yaitu Batara Citranggada, Batara Citrarata, Batara Citrasena, dan Batara Arjunawangsa menghadapi gempuran para raksasa itu. Sungguh tak disangka, Patih Danupaya ternyata memiliki kesaktian tinggi dan mampu memukul mundur para dewa.
Menyadari pihaknya terdesak, Batara Indra segera menarik mundur pasukan sehingga masuk kembali ke dalam tembok Kahyangan Suralaya dan menutup rapat-rapat gerbang Selamatangkep.
Batara Indra lalu melapor kepada Batara Guru tentang kekalahannya. Baru melawan Patih Danupaya saja sudah terdesak, apalagi jika menghadapi Prabu Nagapaya, entah bagaimana hasilnya. Batara Guru mengheningkan cipta sejenak, kemudian mengutus Batara Narada pergi ke Kerajaan Hastina menjemput putra kedua Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Raden Pandu supaya dijadikan sebagai jago kahyangan. Batara Indra merasa heran, mana mungkin seorang anak kecil berumur tujuh tahun dapat menumpas Prabu Nagapaya dan Patih Danupaya? Namun, karena Batara Guru sudah meramalkan demikian, maka ia pun berusaha meyakinkan diri.
Batara Narada segera berangkat meninggalkan Kahyangan Suralaya menuju Kerajaan Hastina untuk melaksanakan tugas tersebut.
RESIWARA BISMA MENJADI GURU BAGI ANAK-ANAK PRABU KRESNA DWIPAYANA
Di Kerajaan Hastina, Prabu Kresna Dwipayana sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Hadir pula Raden Krepa dari Kerajaan Timpurusa yang sesuai ikrarnya, ingin mengabdi di Kerajaan Hastina. Sejak kecil Raden Krepa bersama Dewi Krepi dipungut Bagawan Santanu dan diserahkan kepada Resiwara Bisma, sehingga ia pun menganggap dirinya sebagai warga Kerajaan Hastina, meskipun ayah kandungnya adalah pemimpin Kerajaan Timpurusa.
Hari itu Prabu Kresna Dwipayana sedang membicarakan ketiga putranya, yaitu Raden Kuru, Raden Pandu, dan Raden Widura yang telah berusia tujuh tahun. Ia merasa sudah saatnya ketiga putranya itu mendapatkan pendidikan, baik itu ilmu kenegaraan maupun ilmu keprajuritan. Maka, Prabu Kresna Dwipayana pun berniat meninggalkan takhta untuk sementara waktu demi mendidik ketiga pangeran kecil tersebut.
Resiwara Bisma tidak setuju apabila Prabu Kresna Dwipayana yang harus menangani sendiri pendidikan ketiga putranya. Bagaimanapun juga Prabu Kresna Dwipayana adalah raja yang harus memimpin jalannya pemerintahan. Mengenai masalah pendidikan, Resiwara Bisma bersedia menjadi guru bagi ketiga pangeran kecil sesuai janjinya kepada mendiang Dewi Durgandini dulu. Untuk itu, ia pun memohon izin untuk membawa ketiga pangeran tersebut tinggal bersama dirinya di Padepokan Talkanda agar pikiran mereka lebih terpusat dalam menjalani pendidikan.
Prabu Kresna Dwipayana lalu bertanya siapa nantinya yang akan menjadi kepala pendeta Kerajaan Hastina apabila Resiwara Bisma memusatkan pikiran untuk mendidik Raden Kuru, Raden Pandu, dan Raden Widura. Resiwara Bisma mengusulkan supaya Raden Krepa saja yang ditunjuk untuk menggantikan dirinya. Sejak kecil Raden Krepa tinggal di Padepokan Talkanda dan mendapat banyak pendidikan agama dari Resiwara Bisma. Maka, meskipun usianya masih muda namun pengetahuan Raden Krepa terhadap isi kitab suci dan segala macam tata cara upacara keagamaan sudah sangat mendalam.
Prabu Kresna Dwipayana memercayai ucapan Resiwara Bisma. Ia pun setuju mengangkat Raden Krepa menjadi kepala brahmana Kerajaan Hastina, dan berhak memakai gelar Resi Krepa.
Selain itu, Prabu Kresna Dwipayana juga memberikan nama baru untuk ketiga putranya yang mulai memasuki dunia pendidikan. Raden Kuru diberi nama baru Raden Dretarastra. Raden Pandu diberi nama baru Raden Dewayana. Sementara itu, Raden Widura diberi nama baru Raden Yamawidura.
RADEN PANDU DIBAWA BATARA NARADA KE KAHYANGAN
Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada menemui Prabu Kresna Dwipayana untuk menyampaikan pesan Batara Guru agar meminjam Raden Pandu sebagai jago kahyangan.
Batara Narada menjelaskan bahwa Kahyangan Suralaya saat ini sedang diserang pasukan raksasa dari Kerajaan Guabarong di bawah pimpinan Patih Danupaya, yang marah karena lamaran raja mereka, yaitu Prabu Nagapaya ditolak Batara Indra. Adapun Prabu Nagapaya adalah keturunan Bagawan Danu di zaman kuno.
Prabu Kresna Dwipayana merasa bimbang melepas Raden Pandu untuk dibawa Batara Narada sebagai jago kahyangan. Resiwara Bisma pun menawarkan dirinya saja yang menjadi jago, bukan keponakannya yang masih kecil itu. Namun, Batara Narada menjelaskan bahwa yang diramalkan mampu mengalahkan Prabu Nagapaya dan Patih Danupaya adalah Raden Pandu. Meskipun masih kecil, Raden Pandu memiliki bakat kesaktian alamiah pada dirinya. Lain halnya dengan Resiwara Bisma yang jauh lebih tua dan lebih berpengalaman, namun kalau tidak ditakdirkan mampu mengalahkan Prabu Nagapaya juga tidak bisa dijadikan sebagai jago kahyangan.
Prabu Kresna Dwipayana merenung teringat para leluhurnya yang banyak menjadi jago kahyangan, antara lain Prabu Parikenan, Resi Manumanasa, dan Batara Sakri. Setelah menimbang-nimbang, Prabu Kresna Dwipayana tidak lagi merasa ragu untuk melepaskan Raden Pandu pergi, tetapi justru merasa bangga jika putranya dipercaya dapat menumpas musuh para dewa.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Prabu Kresna Dwipayana, Batara Narada segera membawa Raden Pandu berangkat menuju Kahyangan Suralaya. Resiwara Bisma yang penasaran sekaligus tidak tega membiarkan keponakannya pergi tanpa pendamping segera ikut menyusul bersama para panakawan.
RADEN PANDU MENGALAHKAN PRABU NAGAPAYA
Batara Narada telah sampai di Kahyangan Suralaya dan segera menghadapkan Raden Pandu kepada Batara Guru dan Batara Indra. Tidak lama kemudian datang pula Resiwara Bisma beserta para panakawan. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Ramayadi (pembuat senjata kahyangan) untuk memberikan pusaka sebagai bekal Raden Pandu dalam menghadapi musuh. Batara Ramayadi pun memberikan sebatang panah bernama Mustikajamus.
Setelah menerima pusaka tersebut, Batara Guru lalu memerintahkan Batara Bayu untuk mengawal kepergian Raden Pandu menghadapi para raksasa dari Guabarong.
Sementara itu, Prabu Nagapaya raja Guabarong merasa tidak sabar menunggu Patih Danupaya yang tidak kunjung kembali dengan memboyong Batari Warsiki. Ia pun menyusul ke perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa sambil menggendong putranya yang masih kecil, bernama Raden Nagagumbang.
Patih Danupaya menyambut kedatangan kakaknya itu dengan penuh rasa malu, karena belum berhasil menunaikan tugasnya. Prabu Nagapaya lalu mengajak Patih Danupaya bersama-sama menggempur Kahyangan Suralaya. Mereka pun berangkat dan kemudian melihat Batara Bayu menghadang di jalan sambil menggendong seorang anak kecil.
Batara Bayu menjelaskan bahwa anak kecil yang digendongnya adalah Raden Pandu, putra raja Hastina. Anak kecil inilah yang akan menjadi jago dewa untuk menumpas Prabu Nagapaya dan pasukannya.
Prabu Nagapaya tersinggung merasa disepelekan. Ia pun menyerang Batara Bayu dan terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Prabu Nagapaya lalu mengubah wujudnya menjadi naga raksasa dan menerjang Batara Bayu. Ketika Prabu Nagapaya menyemburkan bisa panas, Batara Bayu menyodorkan tubuh Raden Pandu. Sungguh ajaib, Raden Pandu tidak terluka sama sekali oleh bisa panas tersebut.
Prabu Nagapaya tidak percaya. Ia lalu menyembur salah seorang prajuritnya yang seketika langsung tewas dengan kulit melepuh. Kembali ia menyembur Raden Pandu namun anak kecil itu sama sekali tidak terluka. Prabu Nagapaya mencoba semburan ketiga namun tetap saja tidak mempan pada diri Raden Pandu.
Batara Bayu mengatakan bahwa Prabu Nagapaya sudah tiga kali menyerang Raden Pandu, maka sekarang giliran Raden Pandu yang menyerang Prabu Nagapaya. Prabu Nagapaya mempersilakan. Raden Pandu lalu melemparkan Panah Mustikajamus ke arah lawan. Panah pusaka tersebut langsung menancap di kepala Prabu Nagapaya hingga membuatnya tewas seketika.
Melihat rajanya terbunuh, Patih Danupaya ketakutan dan segera menggendong Raden Nagagumbang pergi meninggalkan Kahyangan Suralaya.
RADEN PANDU MENDAPAT ANUGERAH DEWATA
Batara Guru menyambut kemenangan Raden Pandu dan memberinya anugerah berupa minyak ajaib bernama Lenga Tala yang jika diusapkan ke sekujur tubuh dapat membuat kulit menjadi kebal terhadap segala jenis senjata. Sementara itu, Batara Indra juga memberikan anugerah berupa nama Dewanata kepada Raden Pandu. Gelar Dewanata ini memiliki makna yang sama dengan gelar Surapati yang dipakai oleh Batara Indra. “Sura” artinya sama dengan “dewa”, sedangkan “pati” artinya sama dengan “nata”, yaitu “pemimpin”.
Batara Guru lalu berpesan kepada Resiwara Bisma untuk mendidik Raden Pandu dengan sebaik-baiknya. Adapun Raden Pandu ini pada dasarnya memiliki bakat kesaktian alamiah sejak lahir, namun belum terarah dan belum bisa mengendalikannya. Tentu saja ini menjadi tugas bagi Resiwara Bisma selaku guru Raden Pandu.
Resiwara Bisma berterima kasih, kemudian mohon pamit kepada para dewa meninggalkan Kahyangan Suralaya bersama Raden Pandu dan para panakawan, untuk kemudian kembali ke Kerajaan Hastina.
PATIH DANUPAYA MENYERANG KERAJAAN HASTINA
Resiwara Bisma dan rombongan telah tiba di Kerajaan Hastina. Mereka disambut Prabu Kresna Dwipayana dengan penuh sukacita. Para menteri dan punggawa pun memuji-muji kehebatan Raden Pandu yang masih kecil namun memiliki bakat kesaktian terpendam.
Beberapa hari kemudian, datanglah pasukan raksasa dari Kerajaan Guabarong yang dipimpin Patih Danupaya menyerang Kerajaan Hastina. Pertempuran sengit pun terjadi. Sekali lagi Raden Pandu menunjukkan kehebatannya. Ia melepaskan panah Mustikajamus yang melesat menembus dada Patih Danupaya. Patih Danupaya pun tewas seketika dan pasukannya dapat dipukul mundur oleh pihak Hastina.
Kerajaan Hastina kini aman kembali. Prabu Kresna Dwipayana dengan bangga melepaskan kepergian ketiga putranya, yaitu Raden Kuru Dretarastra, Raden Pandu Dewayana, dan Raden Yamawidura untuk memulai pendidikan di Padepokan Talkanda, di bawah asuhan Resiwara Bisma.
------------------------------ TANCEB KAYON------------------------------
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih jika anda mau untuk meninggalkan jejak anda dengan berkomentar di blog ini.