Tampilkan postingan dengan label Cerita Wayang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Wayang. Tampilkan semua postingan

Lakon Wayang Dewabrata Prasetya

Raden Dewabrata

Prabu Santanu di Kerajaan Hastina dihadap menteri utama Patih Basusara dan kepala pendeta Resi Jawalagni, beserta para punggawa lainnya. Mereka sedang membicarakan keadaan negara yang semakin hari semakin bertambah maju. Kerajaan Hastina kini menjadi negeri besar, bahkan menyamai Kerajaan Wirata yang dulu pernah menjadi atasannya. Jumlah penduduknya juga semakin banyak, dan wilayahnya pun semakin luas. Hal ini sesuai dengan ramalan Batari Ganggawati dulu sebelum berpisah dengan Prabu Santanu.

Prabu Santanu lalu teringat pada putranya, yaitu Raden Dewabrata, yang sejak bayi dibawa Batari Ganggawati ke kahyangan untuk dididik para dewa dan dipersiapkan menjadi pangeran mahkota Kerajaan Hastina. Tak terasa kini sudah lima belas tahun berlalu. Prabu Santanu berharap Raden Dewabrata telah menamatkan pendidikannya dan dapat berkumpul kembali dengannya.

Dalam pertemuan itu, Patih Basusara dan Resi Jawalagni mengusulkan agar Prabu Santanu menikah lagi, karena kurang baik jika seorang raja tidak memiliki permaisuri. Namun, Prabu Santanu tidak ingin memikirkan soal itu sebelum bisa berkumpul dengan Raden Dewabrata.

Tiba-tiba datanglah seorang pangeran yang mengaku bernama Raden Salwarukma, putra Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura. Kedatangannya adalah untuk meminta takhta Kerajaan Hastina dari tangan Prabu Santanu yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Menurut Raden Salwarukma, ayahnya lebih tua daripada Prabu Santanu sehingga lebih berhak mewarisi Kerajaan Hastina. Apalagi Prabu Santanu bisa menjadi raja juga karena mengkhianati Prabu Pratipa (ayahnya) dan menyingkirkan Raden Dewapi (kakak sulungnya).

Prabu Santanu tersinggung atas sikap keponakannya itu. Ia pun mempersilakan Raden Salwarukma untuk menunggu di alun-alun jika ingin merebut takhta Kerajaan Hastina.

RADEN SALWARUKMA DIKALAHKAN RADEN DEWABRATA

Prabu Santanu dan Patih Basusara memimpin pasukan Hastina berangkat menghadapi tantangan Raden Salwarukma yang membawa sejumlah pasukan Siwandapura. Terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Dalam belasan tahun ini Kerajaan Siwandapura banyak menaklukkan negeri-negeri di tanah seberang, sehingga kekuatannya sekarang jauh lebih besar daripada dulu saat menyerang Kerajaan Wirata.

Raden Salwarukma yang masih muda juga memiliki kesaktian tinggi. Dalam pertempuran itu, ia berhasil menangkap Prabu Santanu beserta Patih Basusara. Padahal, ayahnya dulu pernah dikalahkan Prabu Santanu saat berperang melawan Kerajaan Wirata.

Pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang dengan cekatan dapat membebaskan Prabu Santanu dan Patih Basusara, serta menyerang Raden Salwarukma dengan panah-panahnya. Raden Salwarukma kelabakan dan berusaha melawan, namun musuhnya kali ini jauh lebih tangguh. Ia akhirnya bertekuk lutut di hadapan pemuda yang baru datang itu.

Tidak lama kemudian muncul pula Batari Ganggawati yang memperkenalkan pemuda pahlawan tersebut sebagai Raden Dewabrata. Prabu Santanu sangat gembira sekaligus terharu menyaksikan putranya telah tumbuh remaja dan juga memiliki kesaktian tinggi, sehingga dapat membebaskan dirinya dari bahaya. Raden Dewabrata pun menyembah memberi hormat kepada Prabu Santanu, ayahnya yang selama lima belas tahun tak pernah ia jumpai.

Prabu Santanu lalu menyerahkan nasib Raden Salwarukma kepada Raden Dewabrata. Mengingat persaudaraan di antara Prabu Santanu dengan Prabu Bahlika, maka Raden Dewabrata pun membebaskan Raden Salwarukma yang terhitung sepupunya itu, dan mempersilakannya pulang ke Siwandapura. Raden Salwarukma merasa malu dan segera pergi tanpa pamit.

Batari Ganggawati lalu berkata kepada Prabu Santanu bahwa ia sudah memenuhi janjinya untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada Raden Dewabrata. Kini Raden Dewabrata telah menamatkan semua pelajaran ilmu kenegaraan dari Batara Wrehaspati, serta ilmu keprajuritan dari Batara Ramaparasu. Setelah dirasa cukup, Batari Ganggawati pun mohon pamit kembali ke kahyangan. Prabu Santanu meminta mantan istrinya itu tetap tinggal di Kerajaan Hastina dan membina rumah tangga seperti dulu lagi, namun Batari Ganggawati menolak. Ia harus kembali menjadi bidadari karena masa hukumannya di dunia telah berakhir. Ia juga menyarankan agar Prabu Santanu segera menikah lagi untuk mendapatkan permaisuri baru sebagai pendamping.

PRABU SANTANU MELANTIK RADEN DEWABRATA SEBAGAI PANGERAN MAHKOTA


Prabu Santanu menilai Raden Dewabrata telah matang secara usia dan pendidikan. Maka, pada hari yang dianggap baik, ia pun melantik putranya itu sebagai pangeran mahkota Kerajaan Hastina. Berita ini disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat karena mereka merasa pengangkatan Raden Dewabrata sebagai calon raja adalah keputusan yang sangat tepat. Para penduduk yakin jika kelak Raden Dewabrata menjadi raja, maka Kerajaan Hastina akan lebih makmur dan semakin berwibawa.

Setelah upacara pelantikan putranya berakhir, Prabu Santanu mengajak Raden Dewabrata pergi berburu ke Hutan Mandalasara untuk bertamasya.  

PRABU SANTANU BERTEMU DEWI DURGANDINI

Dalam perburuan tersebut, Prabu Santanu terlalu asyik mengejar seekor kijang, sehingga tanpa terasa ia pun terpisah dari rombongan dan hanya ditemani pembantunya yang bernama Kyai Surarata. Mereka berdua naik kuda masing-masing, mengejar buruan tersebut hingga sampai di tepi Sungai Jamuna.

Di tepi sungai tersebut, Prabu Santanu terkesima melihat ada seorang tukang perahu cantik jelita, yang tidak lain adalah Dewi Durgandini. Seketika ia pun jatuh cinta dan berterus terang ingin memperistri tukang perahu tersebut. Dewi Durgandini menolak lamaran Prabu Santanu karena dirinya hanyalah seorang rakyat jelata yang tinggal di Desa Matsya, tentunya tidak pantas menjadi istri seorang raja besar dari Kerajaan Hastina. Apalagi ia juga seorang janda yang pernah melahirkan anak sekitar sepuluh tahun yang lalu.

Penolakan Dewi Durgandini ini membuat Prabu Santanu semakin penasaran. Prabu Santanu tidak peduli meskipun Dewi Durgandini sudah janda, karena ia sendiri juga seorang duda. Ia pun berjanji akan mengabulkan segala permintaan Dewi Durgandini apabila bersedia menjadi istrinya. Mendengar penawaran ini, Dewi Durgandini pun mengajukan syarat bahwa, ia bersedia menjadi istri Prabu Santanu asalkan kelak putranya yang ditetapkan sebagai raja di Kerajaan Hastina.

Prabu Santanu sangat terpukul mendengar syarat yang diajukan Dewi Durgandini itu. Ia pun pergi tanpa pamit meninggalkan Sungai Jamuna dengan perasaan sangat kecewa.

PRABU SANTANU JATUH SAKIT

Prabu Santanu dan Kyai Surarata bertemu Raden Dewabrata beserta Resi Jawalagni dan Patih Basusara yang sibuk mencari mereka. Tanpa banyak bicara, Prabu Santanu langsung mengajak rombongan tersebut kembali ke Kerajaan Hastina. Raden Dewabrata heran melihat perubahan sikap ayahnya yang kini menjadi murung selama perjalanan pulang.

Sesampainya di istana, Prabu Santanu lebih suka mengurung diri di dalam kamar. Perasaannya sedang bimbang. Di satu sisi ia seorang duda yang terlanjur jatuh cinta dan mengumbar janji kepada seorang wanita, dan di sisi lain ia tidak ingin menggantikan kedudukan Raden Dewabrata sebagai putra mahkota dengan orang lain. Karena terlalu keras berpikir, kesehatan Prabu Santanu menjadi buruk dan ia pun jatuh sakit.

Raden Dewabrata mencari tahu apa yang menyebabkan ayahnya sakit namun sang ayah hanya diam tak mau berterus terang. Ia lalu bertanya kepada Kyai Surarata perihal apa yang terjadi selama perburuan kemarin. Setelah didesak terus-menerus, Kyai Surarata akhirnya bercerita dari awal hingga akhir tentang pertemuan Prabu Santanu dengan Dewi Durgandini, perempuan tukang perahu di Sungai Jamuna.

RADEN DEWABRATA MELAMAR DEWI DURGANDINI UNTUK AYAHNYA

Setelah memahami duduk persoalannya, Raden Dewabrata pun berangkat ke Sungai Jamuna menemui Dewi Durgandini. Kepada wanita itu, ia memperkenalkan diri sebagai putra tunggal Prabu Santanu dan menyatakan ingin melamarnya sebagai istri sang ayah. Dewi Durgandini pun menyampaikan syarat bahwa ia bersedia menjadi istri Prabu Santanu asalkan keturunannya yang ditetapkan sebagai raja Hastina.

Tak disangka, Raden Dewabrata menerima syarat tersebut tanpa menawar dan ia rela melepaskan kedudukannya sebagai pangeran mahkota Kerajaan Hastina. Ia juga berjanji akan selalu setia seumur hidup melayani keturunan Dewi Durgandini yang menjadi raja Hastina, siapa pun orangnya.

Dewi Durgandini masih belum puas. Ia percaya Raden Dewabrata pasti akan menepati janjinya. Namun, bagaimana dengan keturunannya kelak? Dewi Durgandini khawatir keturunannya nanti akan diberontak oleh keturunan Raden Dewabrata.

Mendengar itu, Raden Dewabrata pun bersumpah akan menjalani hidup wahdat, yaitu tidak menikah seumur hidup. Dengan demikian, Dewi Durgandini tidak perlu khawatir terhadap keturunannya. Sumpah ini pun disambut dengan suara halilintar menggelegar memenuhi angkasa.

Pada saat itulah, Prabu Santanu datang bersama Kyai Surarata dan meminta Raden Dewabrata untuk membatalkan sumpahnya. Ia rela tidak jadi menikah dengan Dewi Durgandini daripada Raden Dewabrata yang harus melepaskan haknya serta menjalani hidup wahdat. Namun, Raden Dewabrata menolak membatalkan apa yang telah ia ucapkan. Ia menyatakan bahwa kebahagiaan sang ayah berada di atas segalanya.

Prabu Santanu sangat terharu atas ketulusan putranya tersebut. Ia pun memberikan nama baru untuk Raden Dewabrata, yaitu Raden Bisma yang berarti “mengerikan”. Itu karena sumpahnya tadi disambut oleh gelegar petir yang mengerikan.

RADEN BISMA MEMUKUL MUNDUR PRABU BAHLIKA

Pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah pernikahan antara Prabu Santanu dengan Dewi Durgandini. Pernikahan ini dihadiri pula oleh Prabu Wasupati dan Raden Durgandana dari Kerajaan Wirata, serta para raja lainnya, seperti Prabu Mandararya dari Kerajaan Gandaradesa, serta Prabu Mandrakiswara dari Kerajaan Mandraka.

Sembilan bulan kemudian, datang serangan dari Kerajaan Siwandapura yang dipimpin langsung oleh Prabu Bahlika dan Raden Salwarukma. Mendengar kabar itu, Raden Bisma Dewabrata segera berangkat memimpin pasukan Hastina untuk menghalau mereka.

Pertempuran sengit pun terjadi. Lagi-lagi Raden Bisma berhasil menunjukkan keunggulannya dalam melindungi Kerajaan Hastina. Dengan melepaskan panah angin, ia pun menghempaskan Prabu Bahlika dan Raden Salwarukma beserta seluruh pasukan Siwandapura sejauh-jauhnya meninggalkan Kerajaan Hastina.

Bersamaan dengan peristiwa kemenangan Raden Bisma tersebut, Dewi Durgandini melahirkan dua bayi laki-laki hasil perkawinannya dengan Prabu Santanu. Kedua putra itu pun diberi nama Raden Citranggada dan Raden Citrawirya.


------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Cerita Wayang Kirmira Gugur





PRABU DURYUDANA BERNIAT MENGAMBIL ALIH KERAJAAN AMARTA

Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma. Selama beberapa hari ini para Kurawa selalu merayakan kemenangan mereka atas para Pandawa melalui permainan dadu. Setiap hari mereka berpesta pora, mabuk-mabukan, dan juga menari gembira dengan para wanita penghibur. Danghyang Druna prihatin atas ulah mereka. Ia menyarankan kepada Prabu Duryudana agar jangan terlalu larut dalam kemenangan ini. Kemenangan terhadap para Pandawa melalui perjudian sesungguhnya adalah kemenangan yang memalukan. Masih terngiang bagaimana Dewi Drupadi dijambak, diseret, dan dilecehkan di depan para hadirin. Bagaimanapun juga Dewi Drupadi adalah putri Prabu Drupada, sahabat karib Danghyang Druna. Memang benar, dulu mereka pernah bermusuhan. Namun, setelah Danghyang Druna berhasil merebut setengah wilayah Kerajaan Pancala, hubungan mereka kembali menjadi sahabat. Dewi Drupadi adalah anak dari sahabat Danghyang Druna, berarti sudah seperti anaknya sendiri.

Patih Sangkuni menjawab keluh kesah Danghyang Druna. Peristiwa ini ibarat nasi sudah menjadi bubur. Danghyang Druna ikut hadir menyaksikan Dewi Drupadi dilecehkan namun tidak dapat berbuat apa-apa. Prabu Drupada tentu sangat marah dan menyimpan dendam kepada Danghyang Druna. Persahabatan antara mereka tentu akan kembali menjadi permusuhan lagi. Tidak ada pilihan lain bagi Danghyang Druna selain berada di pihak Kurawa. Jika Prabu Drupada datang menyerang melampiaskan kemarahannya, maka segenap kekuatan Kerajaan Hastina akan siap melindungi Danghyang Druna.

Danghyang Druna merasa dirinya memang ikut berdosa atas kejahatan ini. Terlanjur basah maka sekalian mandi pula. Lagipula ia tidak akan lupa bahwa dirinya pernah terlunta-lunta menjadi orang miskin, sekarang bisa menjadi pendeta kaya raya dan memiliki perguruan besar, itu semua berkat Prabusepuh Dretarastra yang memberinya pekerjaan. Dulu ia pernah bersumpah akan selalu setia mengabdi kepada Kerajaan Hastina. Kini, yang menjadi raja Hastina adalah Prabu Duryudana, maka mau tidak mau ia pun harus setia kepada muridnya tersebut.

Prabu Duryudana gembira mendengar ikrar setia Danghyang Druna. Kini ia berencana untuk mengambil alih wilayah Kerajaan Amarta untuk menjadi bagian Kerajaan Hastina. Sesuai perjanjian, karena para Pandawa kalah bermain dadu, maka mereka harus menjalani hukuman buang tiga belas tahun lamanya. Selama mereka pergi, maka Kerajaan Amarta harus dititipkan kepada para Kurawa. Oleh sebab itu, Prabu Duryudana berniat mengirim Adipati Jayadrata agar menduduki Kerajaan Amarta sebagai wakil para Kurawa di sana.

PRABU KIRMIRA MENAWARKAN PERSAHABATAN

Prabu Duryudana memanggil Adipati Jayadrata untuk menghadap. Adipati Jayadrata datang menerima perintah. Prabu Duryudana pun menyerahkan surat tugas kepadanya agar mulai hari ini menduduki Kerajaan Amarta sebagai wakil para Kurawa di sana. Adipati Jayadrata menerima tugas tersebut, namun merasa ragu-ragu untuk berangkat. Prabu Duryudana bertanya mengapa demikian. Adipati Jayadrata menjawab, dirinya agak gentar jika sampai berhadapan dengan para putra Pandawa, yaitu Raden Antareja, Arya Gatutkaca, Raden Antasena, Raden Abimanyu, dan sebagainya, yang konon menduduki Kerajaan Amarta.

Pada saat itulah datang seorang raja raksasa menghadap Prabu Duryudana. Ia memperkenalkan dirinya bernama Prabu Kirmira dari Kerajaan Ekacakra. Ia adalah putra dari raja Ekacakra terdahulu yang bernama Prabu Baka. Pada saat ayahnya tewas dibunuh Arya Wrekodara, saat itu Prabu Kirmira masih bayi. Para pelayan ayahnya berhasil membawa kabur Prabu Kirmira untuk mengungsi dari balas dendam rakyat Ekacakra yang sanak keluarganya dimakan oleh Prabu Baka.

Kini Prabu Kirmira telah dewasa. Ia mendatangi Kerajaan Ekacakra dan berhasil merebut kembali negeri peninggalan ayahnya tersebut. Tidak ada seorang pun rakyat yang berani melawan dirinya. Prabu Kirmira kemudian mendengar kabar bahwa pembunuh ayahnya yang bernama Arya Wrekodara memiliki musuh bebuyutan yang bernama Prabu Duryudana raja Hastina. Pepatah mengatakan, musuh dari musuh adalah teman. Untuk itulah, Prabu Kirmira pun datang ke Kerajaan Hastina untuk menawarkan persahabatan dengan Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana menyambut baik tawaran persahabatan tersebut. Ia berkata bahwa para Pandawa telah kalah dalam permainan dadu dan harus menjalani hukuman buang selama tiga belas tahun. Selama mereka pergi, Kerajaan Amarta harus diserahkan kepada para Kurawa. Namun, anak-anak Pandawa menduduki negeri tersebut. Meskipun rata-rata masih muda, namun mereka memiliki kesaktian tidak kalah dengan para Pandawa.

Prabu Kirmira berkata, ini saatnya ia menunjukkan ketulusan dalam pertemanan ini. Ia menyatakan bersedia untuk membabat habis anak-anak Pandawa sebagai balas dendam atas kematian ayahnya terdahulu. Prabu Duryudana berterima kasih, dan ia pun mempersilakan Prabu Kirmira untuk berangkat menuju Kerajaan Amarta bersama Adipati Jayadrata.

Prabu Kirmira menerima tugas dengan senang hati. Ia lalu mohon pamit berangkat bersama Adipati Jayadrata menuju Kerajaan Amarta.

PRABUSEPUH DRETARASTRA MENGUSIR ADIPATI YAMAWIDURA

Di Keraton Gajahoya, Prabusepuh Dretarastra dan Dewi Gandari dihadap Adipati Yamawidura. Hari itu Adipati Yamawidura datang untuk memohon kebijaksanaan Prabusepuh Dretarastra agar membatalkan hukuman buang yang dijalani para Pandawa dan Dewi Drupadi. Peristiwa yang terjadi di Kerajaan Hastina tempo hari sungguh biadab, di mana Dewi Drupadi dilecehkan dan direndahkan oleh Arya Dursasana dengan disaksikan para hadirin, termasuk para sesepuh negara. Adipati Yamawidura merasa sangat malu tidak dapat berbuat apa-apa. Prabusepuh Dretarastra pun saat itu hanya diam saja tidak mencegah anak-anaknya.

Dewi Gandari menyela pembicaraan. Ia berkata bahwa dirinya telah menghentikan permainan itu. Pelecehan Dewi Drupadi sangat memalukan dan menjadi aib Kerajaan Hastina. Namun, itu semua telah dihentikan oleh Dewi Gandari. Lalu, mengapa Adipati Yamawidura masih saja mengungkit-ungkit soal itu?

Adipati Yamawidura menjawab, yang namanya aib selamanya tetap saja menjadi aib. Meskipun Dewi Gandari telah menghentikan permainan, namun permainan tetap saja dilanjutkan dengan bentuk taruhan yang berbeda. Akibatnya, para Pandawa pun kalah dan dibuang selama tiga belas tahun. Dewi Gandari menjawab, taruhan bentuk baru itu sudah disepakati bersama. Barangsiapa yang kalah harus menjalani hukum buang selama tiga belas tahun. Tidak ada lagi perbudakan dan pelecehan, yang ada hanyalah hukuman buang.

Adipati Yamawidura berkata hukuman tersebut harus dibatalkan, karena para Kurawa diwakili Patih Sangkuni yang telah berbuat curang. Pihak Kurawa bisa menang karena Patih Sangkuni bermain sihir dalam melempar dadu. Oleh sebab itu, Adipati Yamawidura menyarankan agar hukuman dibatalkan saja, dan para Pandawa harus dijemput pulang kembali ke negara mereka. Prabusepuh Dretarastra yang tempo hari diam saja tidak bertindak, maka kini saatnya melakukan sesuatu untuk menghapus aib yang melanda Kerajaan Hastina.

Dewi Gandari tersinggung mendengar Patih Sangkuni dituduh berbuat curang dan bermain sihir. Ia pun mengadukan hal itu kepada Prabusepuh Dretarastra, dan ia meminta izin agar diperbolehkan pulang bersama Patih Sangkuni ke Kerajaan Gandaradesa daripada dihina seperti ini. Adipati Yamawidura menuduh tanpa bukti, itu namanya fitnah belaka.

Prabusepuh Dretarastra termakan ucapan istrinya. Ia pun memarahi Adipati Yamawidura, menuduhnya sebagai paman yang pilih kasih. Selama ini Adipati Yamawidura selalu berat sebelah, yaitu lebih membela para Pandawa daripada para Kurawa, padahal mereka sesama keponakan. Apapun yang dilakukan anak-anaknya selalu salah di mata Adipati Yamawidura, sedangkan apapun yang dilakukan anak-anak Prabu Pandu selalu terlihat benar. Jika memang Adipati Yamawidura lebih sayang kepada para Pandawa daripada para Kurawa, mengapa tidak pergi saja menyusul mereka?

Adipati Yamawidura terkejut mendengar ucapan kakaknya. Ia pun mohon pamit untuk pergi bergabung dengan para Pandawa di Hutan Kamyaka.

PRABU KIRMIRA MENGUSIR PARA PUTRA PANDAWA

Sementara itu di Kerajaan Amarta, para putra Pandawa antara lain Raden Pancawala, Arya Antareja, Arya Gatutkaca, Raden Abimanyu, Bambang Irawan, Raden Sumitra, dan Raden Bratalaras, sedang berunding bersama Patih Tambakganggeng dan para punggawa mengenai kemungkinan para Kurawa datang untuk mengambil alih negara. Para putra Pandawa siap mengukuhi kerajaan karena menurut mereka Kurawa memenangkan permainan dadu melalui cara yang licik.

Tidak lama kemudian datanglah Adipati Jayadrata dan Prabu Kirmira di tempat itu. Mereka meminta para putra Pandawa menyerahkan Kerajaan Amarta kepada para Kurawa karena Pandawa sudah kalah bermain dadu. Sebagai kesepakatan, para Pandawa harus pergi ke hutan selama dua belas tahun dan menyamar di suatu negara selama setahun, sedangkan Kerajaan Amarta harus dititipkan kepada Kurawa.

Arya Antareja sebagai juru bicara menolak keputusan itu. Menurutnya, para Kurawa tidak berhak mengambil alih Kerajaan Amarta karena mereka menang secara curang. Adipati Jayadrata bertanya apakah para putra Pandawa bisa membuktikan kecurangan itu. Arya Antareja tidak bisa menjawab. Ia hanya meyakini bahwa Patih Sangkuni bermain sihir saat melemparkan dadu.

Adipati Jayadrata marah karena para putra Pandawa menuduh tanpa bukti. Ia berkata bahwa Kerajaan Amarta akan diambil alih hari ini juga, tidak peduli para putra Pandawa bersedia atau tidak. Arya Antareja dan saudara-saudaranya bertekad akan mengukuhi setiap jengkal Kerajaan Amarta. Tiba-tiba Prabu Kirmira maju menerjang mereka. Maka, terjadilah pertempuran. Para putra Pandawa dan pasukan Amarta bertempur menghadapi Prabu Kirmira dan pasukan raksasa Ekacakra.

Setelah bertempur cukup lama, para putra Pandawa merasa terdesak. Mereka tidak mampu lagi mempertahankan Kerajaan Amarta dan terpaksa pergi menyusul orang tua mereka di Hutan Kamyaka. Prabu Kirmira tidak mau mengampuni. Ia tetap mengejar mereka dan menyerahkan Kerajaan Amarta kepada Adipati Jayadrata.

PARA PANDAWA BERUNDING SOAL KELANJUTAN PEMBUANGAN MEREKA

Sementara itu di Hutan Kamyaka, Prabu Puntadewa dihadap para adik dan Dewi Drupadi. Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa memakai pakaian kenegaraan lengkap. Mereka mengajak Prabu Puntadewa kembali ke Kerajaan Amarta karena waktu tiga belas hari sudah terlewati. Menurut pepatah lama, waktu sehari bagaikan setahun. Karena tiga belas hari sudah terlewati, maka itu sama dengan tiga belas tahun.

Prabu Puntadewa tidak membenarkan pendapat seperti itu. Itu hanyalah pepatah di dunia majas, sedangkan kekalahan dadu ada di dunia nyata. Hukuman tiga belas tahun adalah nyata, dan harus dijalani secara nyata. Ia bersumpah akan menjalani hukuman ini. Terserah keempat Pandawa jika ingin kembali ke Kerajaan Amarta, dirinya tidak akan melarang. Dewi Drupadi juga dipersilakan kembali ke Amarta bersama keempat Pandawa.

Dewi Drupadi berkata dirinya sudah bersumpah akan menjalani hukum buang sampai selesai, dan ia anggap ini sebagai pembuang sial. Setelah tiga belas tahun terlewati, maka urusan dendam kepada Arya Dursasana barulah bisa diselesaikan. Ia ingin membuktikan kepada dunia bahwa dirinya adalah wanita tangguh yang tidak takut menjalani masa hukuman.

Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa tertunduk malu. Mereka lalu menyatakan tetap ikut menyertai Prabu Puntadewa menjalani masa hukuman sampai habis. 

ADIPATI YAMAWIDURA DATANG DI HUTAN KAMYAKA

Setelah para Pandawa satu pemahaman dan satu tujuan, tiba-tiba Adipati Yamawidura datang menemui mereka. Mereka heran melihat sang paman hadir di Hutan Kamyaka. Adipati Yamawidura berkata bahwa dirinya telah diusir Prabusepuh Dretarastra karena memperjuangkan para Pandawa yang dicurangi Patih Sangkuni. 

Prabu Puntadewa berkata bahwa tidak ada yang curang dalam permainan tersebut. Patih Sangkuni bisa menang karena ia memang pandai dalam melempar dadu. Sebaliknya, ia kalah karena memang tidak terampil. Kini para Pandawa harus menjalani hukuman, dan itu adalah bagian dari perjanjian. Untuk itu, sebaiknya Adipati Yamawidura kembali ke Kerajaan Hastina.

Adipati Yamawidura menggeleng. Ia masih belum bisa kembali ke sana. Tiba-tiba datang Srati Sanjaya di tempat itu. Ia adalah juru penuntun sekaligus kusir kereta Prabusepuh Dretarastra. Ia ditugasi menjemput pulang Adipati Yamawidura karena Prabusepuh Dretarastra merasa kehilangan dan menyesali ucapannya.

Adipati Yamawidura berkata dirinya tidak mau pulang apabila tidak bersama para Pandawa. Namun, Prabu Puntadewa tidak setuju. Ia telah berjanji untuk menghormati keputusan yang telah disepakati bersama, yaitu harus menjalani hukuman sampai selesai. Untuk itu, Adipati Yamawidura diminta untuk pulang saja bersama Srati Sanjaya.

Adipati Yamawidura merasa tidak ada gunanya berdebat dengan Prabu Puntadewa. Ia hanya bisa mendoakan semoga para Pandawa dan Dewi Drupadi baik-baik saja selama menjalani masa pembuangan. Adipati Yamawidura lalu kembali ke Kerajaan Hastina bersama Srati Sanjaya.

PRABU KIRMIRA MENYERANG HUTAN KAMYAKA

Sepeninggal Adipati Yamawidura dan Srati Sanjaya, para Pandawa didatangi putra-putra mereka yang mengaku dikejar-kejar raja raksasa bernama Prabu Kirmira. Raden Pancawala bercerita bahwa ia dan para sepupu berniat mempertahankan Kerajaan Amarta saat hendak diambil alih para Kurawa melalui Adipati Jayadrata. Ternyata Adipati Jayadrata datang bersama raja raksasa bernama Prabu Kirmira yang berilmu tinggi. Para putra Pandawa terdesak menghadapi kekuatannya dan terpaksa kabur menuju Hutan Kamyaka.

Prabu Puntadewa berkata bahwa Kerajaan Amarta tidak perlu dipertahankan karena sudah menjadi bagian dari perjanjian. Selama tiga belas tahun ke depan Kerajaan Amarta dititipkan kepada para Kurawa dan itu harus ditepati. 

Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kirmira di tempat itu. Ia mengejek anak-anak Pandawa yang tidak mampu mengalahkan dirinya, lantas meminta bantuan ayah mereka. Ia lalu bertanya siapa yang bernama Arya Wrekodara. Arya Wrekodara pun maju menunjukkan diri. Prabu Kirmira berkata, dirinya ingin membalaskan kematian ayahnya belasan tahun lalu, yaitu Prabu Baka.

Prabu Puntadewa melarang Arya Wrekodara melayani tantangan Prabu Kirmira karena para Pandawa sudah kalah bermain dadu, maka harus menepati perjanjian yang ditentukan. Prabu Kirmira menyahut, ini adalah masalah dendam atas kematian ayahnya, tidak ada hubungan dengan masalah dadu.

Prabu Puntadewa pun mempersilakan Arya Wrekodara mengambil keputusan sendiri. Arya Wrekodara segera maju melayani tantangan raja raksasa itu. Perang tanding pun terjadi. Setelah bertarung lama, Prabu Kirmira akhirnya tewas dengan tubuh lumat dihantamkan pada batang pohon beringin.

PRABU KRESNA DAN RADEN DRESTADYUMNA MENGUNJUNGI PARA PANDAWA

Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kresna dan Arya Setyaki dari Kerajaan Dwarawati, serta Raden Drestadyumna dari Kerajaan Pancala. Mereka datang untuk menjenguk para Pandawa. Raden Drestadyumna sangat marah mendengar berita bahwa Dewi Drupadi dilecehkan di istana Kerajaan Hastina. Apabila para Pandawa sepakat, maka Prabu Drupada dan pasukan Pancala akan menggempur Kerajaan Hastina.

Prabu Puntadewa tidak setuju. Ia telah bersumpah akan menjalani masa hukuman tiga belas tahun tanpa membantah. Ia berharap setelah masa hukuman terlewati, Prabu Duryudana bersedia mengembalikan Kerajaan Amarta kepada dirinya. Raden Drestadyumna tidak percaya pada hal itu. Namun, Prabu Puntadewa melarangnya untuk berprasangka buruk terlebih dulu, karena belum tentu Prabu Duryudana mengingkari janji.

Raden Drestadyumna lalu menyampaikan pesan dari Prabu Drupada bahwa Dewi Drupadi diajak pulang ke Kerajaan Pancala. Kelak apabila para Pandawa sudah menyelesaikan masa hukuman, maka ia boleh bergabung lagi dengan Prabu Puntadewa. Dewi Drupadi menolak hal itu. Ia sudah bersumpah akan mengikuti Prabu Puntadewa menjalani hukuman, maka hal itu akan dilaksanakan tanpa membantah. Dewi Drupadi lalu memerintahkan Raden Pancawala untuk ikut pulang ke Kerajaan Pancala bersama Raden Drestadyumna, tidak perlu lagi mempertahankan Kerajaan Amarta. Raden Pancawala menolak dan ingin ikut tinggal di hutan. Dewi Drupadi memaksanya menurut, membuat Raden Pancawala tidak berani membantah lagi.

Raden Arjuna lalu berkata kepada Prabu Kresna agar bersedia menjaga Dewi Sumbadra dan Raden Abimanyu selama dirinya menjalani masa hukuman. Prabu Kresna mengabulkan keinginan tersebut. Sementara itu, Arya Setyaki bersumpah, kelak apabila para Kurawa mengingkari janji, maka dirinya bersedia menyerahkan jiwa raga kepada para Pandawa untuk melawan mereka. 

Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna dan Arya Setyaki kembali ke Kerajaan Dwarawati bersama Raden Abimanyu, Raden Sumitra, dan Raden Bratalaras, sedangkan Raden Drestadyumna kembali ke Kerajaan Pancala bersama Raden Pancawala. Adapun Arya Antareja kembali ke Jangkarbumi, Arya Gatutkaca kembali ke Kerajaan Pringgadani, sedangkan Bambang Irawan kembali ke Padepokan Yaksarata.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
  

Cerita Wayang Pandawa Dadu


Dewi Drupadi.

PRABU DURYUDANA SAKIT HATI SETELAH PULANG DARI INDRAPRASTA

Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma. Hari itu Prabu Duryudana tampak sangat marah. Ia masih sakit hati karena dua hal. Yang pertama, ia sangat iri melihat keindahan istana Indraprasta milik para Pandawa yang konon dibangun dengan bantuan Batara Wiswakarma dan Asura Maya. Yang kedua, ia sakit hati karena dihina dan dipermalukan Dewi Drupadi, istri Maharaja Yudistira.

Saat itu sesudah upacara Sesaji Rajasuya berakhir, Prabu Duryudana berjalan-jalan untuk mengamati keindahan istana Indraprasta. Muncul panakawan Petruk yang mengingatkan bahwa di depan ada kolam air. Namun, yang dilihat Prabu Duryudana di depan adalah hamparan permadani. Ia menuduh Petruk sengaja mempermainkannya. Prabu Duryudana terus saja melangkah dan dirinya pun tercebur ke dalam kolam yang dilihatnya sebagai permadani itu. Tiba-tiba Dewi Drupadi muncul dan menghina Prabu Duryudana tidak bisa melihat seperti ayahnya.

Prabu Duryudana sangat marah atas penghinaan ini. Ia pulang ke Kerajaan Hastina, tidak enak makan, tidak enak tidur. Sejak kecil ia selalu merasa sial karena memiliki orang tua yang tunanetra, dan kini kesialannya itu diungkit-ungkit oleh seorang wanita. Andai saja yang menghinanya seorang laki-laki, pasti sudah ia labrak saat itu juga.

Adipati Karna menanggapi cerita tersebut dengan penuh kemarahan. Sebagai senapati Kerajaan Hastina, ia merasa berdosa jika tidak bisa menghukum penghina rajanya. Maka, Adipati Karna pun mohon izin untuk menggempur Kerajaan Amarta saat ini juga. Ia tidak akan kembali jika belum memenggal kepala Dewi Drupadi dan Pandawa Lima, meskipun mereka adalah adik-adiknya sendiri. Patih Sangkuni tidak setuju. Ia punya usulan lain, yaitu penghinaan harus dibalas dengan penghinaan, bukan dengan jalan peperangan.

Prabu Duryudana tertarik pada usulan Patih Sangkuni. Ia ingin melihat para Pandawa dan Dewi Drupadi dihina habis-habisan untuk melampiaskan sakit hatinya. Patih Sangkuni berkata bahwa, ia pernah mengajak Maharaja Yudistira semasa muda bermain dadu. Saat itu terlihat bahwa Maharaja Yudistira sangat menyukai permainan ini. Maka, Patih Sangkuni pun mengusulkan agar Prabu Duryudana mengundang Maharaja Yudistira untuk bermain dadu lagi, pasti tidak akan ditolak. Melalui permainan dadu nanti, Prabu Duryudana bisa merebut Kerajaan Amarta beserta istana Indraprasta dan mempermalukan para Pandawa beserta Dewi Drupadi.

Prabu Duryudana tidak yakin apa benar cara tersebut bisa digunakan untuk mengalahkan para Pandawa. Patih Sangkuni bercerita bahwa dirinya pernah belajar ilmu sihir. Memenangkan permainan dadu adalah perkara mudah baginya. Apalagi dadu yang ia pakai berasal dari tulang ayahnya sendiri, yaitu mendiang Prabu Suwala. Patih Sangkuni juga telah mengadakan upacara memanggil roh ayahnya agar masuk bersatu di dalam dadu tersebut.

Danghyang Druna ngeri mendengar rencana Patih Sangkuni. Ia menyarankan Patih Sangkuni agar membatalkan rencana tersebut, karena mempermalukan para Pandawa melalui perjuadian adalah tindakan licik dan tidak kesatria. Patih Sangkuni balas mengatakan bahwa ini lebih baik daripada menempuh jalur peperangan. Jika menggunakan permainan dadu, maka tidak perlu sampai jatuh korban jiwa. Lagipula jika sampai terjadi perang seperti yang diusulkan Adipati Karna, maka Danghyang Druna akan kehilangan murid, entah itu yang mati para Pandawa ataukah para Kurawa.

Prabu Duryudana berkata bahwa dirinya sudah memutuskan untuk menyetujui usulan Patih Sangkuni, yaitu mengajak para Pandawa bermain dadu. Danghyang Druna dan Adipati Karna boleh tidak setuju, tetapi mereka harus tetap mematuhi karena raja sudah memutuskan demikian. Prabu Duryudana juga meminta agar permainan dadu nanti disaksikan para sesepuh Kerajaan Hastina, yaitu Resiwara Bisma, Prabusepuh Dretarastra, Adipati Yamawidura, dan Resi Krepa. Pokoknya para Pandawa dan Dewi Drupadi harus dipermalukan di hadapan mereka semua.

Danghyang Druna mengingatkan bahwa para Pandawa memiliki penasihat agung, yaitu Prabu Batara Kresna. Bagaimana jika sampai ia menghalangi permainan dadu nanti? Patih Sangkuni menjawab, mengenai Prabu Kresna adalah urusan Danghyang Druna. Prabu Duryudana membenarkan ucapan Patih Sangkuni. Ia meminta Danghyang Druna agar mengerahkan murid-muridnya untuk mengalihkan perhatian Batara Kresna agar tidak mengganggu permainan dadu nanti. Danghyang Druna yang dalam hati tidak setuju terpaksa mematuhi perintah ini.

Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana pun membubarkan pertemuan. Patih Sangkuni dan Danghyang Druna lalu berbagi tugas untuk keberalangsungan acara permainan dadu nanti.

DANGHYANG DRUNA MENGERAHKAN MURID-MURIDNYA

Di paseban luar, Danghyang Druna memanggil murid-muridnya agar maju mendekat. Mereka adalah para raja bekas pengikut Prabu Jarasanda yang bernama Prabu Wiruka, Prabu Wisaka, Prabu Reksaka, Prabu Jayakurda, dan Prabu Surakesti. Setelah Prabu Jarasanda gugur, kelima raja itu menjadi sekutu Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina, serta berguru kepada Danghyang Druna. Kali ini Danghyang Druna meminta bayaran atas pelajaran yang ia berikan, di mana mereka harus berangkat menyerang Kerajaan Dwarawati.

Prabu Wiruka dan kawan-kawan bersenang hati karena ini adalah peluang bagi mereka untuk membalaskan kematian Prabu Jarasanda, Prabu Sisupala, Prabu Hamsa, dan Prabu Dimbaka. Mereka lalu mohon pamit dan mohon restu kepada Danghyang Druna, kemudian berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.

KERAJAAN DWARAWATI DIKEPUNG MUSUH

Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Batara Kresna dihadap Raden Setyaka, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Hadir pula dua putra lainnya yang telah memiliki negeri sendiri, yaitu Adipati Partajumena dan Patih Saranadewa. Setelah meninggalnya Raden Samba, seharusnya yang menjadi pangeran mahkota adalah Raden Partajumena. Namun, Raden Partajumena menolak karena ingin hidup mandiri membangun negeri sendiri. Ia pun berhasil mendirikan sebuah kerajaan kecil yang diberi nama Dadapaksi. Adik kandungnya yang berparas raksasa, yaitu Raden Saranadewa dijadikan sebagai patih, sedangkan dirinya memakai gelar adipati, dan tetap mengakui Kerajaan Dwarawati sebagai atasan.

Demikianlah, karena Adipati Partajumena telah memiliki negeri sendiri, maka hari ini Prabu Batara Kresna melantik putra bungsunya, yaitu Raden Setyaka sebagai pangeran mahota Kerajaan Dwarawati. Pelantikan ini juga disaksikan oleh Prabu Baladewa yang datang berkunjung dari Kerajaan Mandura.

Prabu Kresna kemudian berbicara kepada Prabu Baladewa, Arya Setyaki, dan yang lain, bahwa tadi malam dirinya bermimpi melihat Kerajaan Amarta diterjang banjir bandang (tsunami) yang menenggelamkan kelima Pandawa dan Dewi Drupadi. Namun, mereka kemudian berhasil muncul kembali ke permukaan. Prabu Kresna mendapat firasat bahwa para Pandawa akan mendapat musibah besar, namun mampu untuk bertahan. Untuk itu, ia berniat mengunjungi mereka di Kerajaan Amarta.

Tiba-tiba ada laporan bahwa Kerajaan Dwarawati diserang musuh dari segala penjuru. Mereka adalah para raja yang berniat membalas dendam atas kematian Prabu Jarasanda raja Magada. Prabu Kresna segera memerintahkan Arya Setyaki untuk memimpin pasukan menghadapi serangan tersebut. Prabu Baladewa tanpa diminta langsung memerintahkan pasukan Mandura untuk membantu.

Maka, terjadilah pertempuran di Kerajaan Dwarawati. Gabungan pasukan Dwarawati dan Mandura bertempur menghadapi pasukan lima raja yang dikirim Danghyang Druna. Untuk sementara, Prabu Kresna harus menunda keberangkatannya menuju Kerajaan Amarta.

ADIPATI YAMAWIDURA MEMBAWA UNDANGAN KE KERAJAAN AMARTA

Sementara itu di Kerajaan Amarta, Maharaja Yudistira dan adik-adiknya menerima kunjungan Adipati Yamawidura dari Pagombakan. Kedatangan sang paman adalah untuk menyampaikan surat dari Prabusepuh Dretarastra, yang mengundang Maharaja Yudistira dan permaisuri Dewi Drupadi beserta keempat Pandawa lainnya untuk menghadiri acara permainan dadu dalam rangka syukuran hari kelahiran Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Maharaja Yudistira menerima undangan tersebut dengan senang hati dan menyatakan bersedia untuk datang.

Arya Wrekodara heran mengapa Prabu Duryudana mengadakan pesta syukuran hari kelahiran, bukankah hari kelahiran antara dirinya dengan Prabu Duryudana hanya selisih satu hari saja, dan seharusnya itu sudah lewat? Maharaja Yudistira melarang Arya Wrekodara berburuk sangka. Ia pun bercerita tentang kisah kelahiran mereka. Kala itu Dewi Gandari istri Prabu Dretarastra sudah lebih dulu mengandung, namun sampai dua tahun belum juga melahirkan. Dewi Kunti yang mengandung belakangan ternyata lebih dulu melahirkan Maharaja Yudistira. Konon Dewi Gandari sangat marah karena didahului dan ia pun memukuli perutnya sendiri supaya si janin segera lahir. Ternyata yang keluar dari kandungannya bukan bayi, melainkan segumpal daging hidup. Bagawan Abyasa datang dan memecah daging tersebut menjadi seratus potong, lalu memasukkannya masing-masing ke dalam kuali.

Beberapa waktu kemudian, Dewi Kunti melahirkan Arya Wrekodara dalam keadaan terbungkus. Esok harinya, salah satu pecahan daging yang dilahirkan Dewi Gandari berubah menjadi bayi normal, yaitu Prabu Duryudana. Jadi, memang benar bayi Prabu Duryudana keluar dari kuali selisih sehari dengan lahirnya Arya Wrekodara, namun kelahirannya ke dunia dalam wujud daging hidup adalah sesudah lahirnya Maharaja Yudistira. Mungkin yang akan dirayakan Prabu Duryudana adalah kelahirannya yang pertama tersebut. Maka itu, Maharaja Yudistira melarang Arya Wrekodara berburuk sangka, apalagi yang mengundang mereka adalah Prabusepuh Dretarastra.

Raden Arjuna ikut bicara. Ia mengingatkan Maharaja Yudistira atas peristiwa Balai Sigala-gala. Saat itu Prabu Dretarastra telah diperalat Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni untuk mencelakakan para Pandawa. Prabu Dretarastra adalah orang yang memerintahkan para Pandawa dan Dewi Kunti untuk bermalam di Balai Sigala-gala yang kemudian dibakar. Untungnya, Adipati Yamawidura telah memohon bantuan kepada sang mertua, yaitu Resi Landakseta untuk membuatkan terowongan bawah tanah, sehingga para Pandawa dan sang ibu bisa selamat. Apalagi kali ini undangannya adalah bermain dadu, tentunya penuh dengan rekayasa dan tipu muslihat di dalamnya.

Adipati Yamawidura membenarkan ucapan Arya Wrekodara dan Raden Arjuna. Dirinya mengaku didesak oleh Prabusepuh Dretarastra untuk mengantarkan surat undangan ke Kerajaan Amarta. Bagaimanapun juga para Pandawa dan Dewi Drupadi harus menghadiri permainan dadu di acara syukuran tersebut. Sepertinya Adipati Yamawidura sengaja dikirim agar para Pandawa segan menolak. Namun, hari ini ia justru menasihati Maharaja Yudistira agar tidak menghadiri undangan mencurigakan tersebut.

Maharaja Yudistira menolak nasihat sang paman. Ia telah menyatakan dirinya akan menghadiri undangan ini dan tidak akan menarik kembali ucapannya. Sama sekali ia tidak pernah menaruh curiga kepada Prabusepuh Dretarastra yang sudah dianggap sebagai pengganti ayah kandungnya. Dewi Drupadi sebagai istri juga menyatakan ikut menemani, begitu pula si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa. Arya Wrekodara dan Raden Arjuna tidak tega kalau sampai mereka dicelakai para Kurawa. Maka, keduanya pun menyatakan ikut berangkat.

Adipati Yamawidura sudah hafal watak Maharaja Yudistira dan ia tidak bisa mencegah lagi. Maka, mereka pun bersama-sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.

PRABU BATARA KRESNA MENYUSUL PARA PANDAWA

Berkat bantuan Prabu Baladewa dan pasukan Mandura, akhirnya musuh yang mengepung Kerajaan Dwarawati dapat ditumpas semuanya. Prabu Batara Kresna lalu mohon pamit berangkat ke Kerajaan Amarta karena ia mendapat firasat buruk atas nasib para Pandawa. Untuk sementara, Kerajaan Dwarawati dititipkan kepada Prabu Baladewa dan Arya Setyaki.

Prabu Kresna pun memacu kereta Jaladara hingga tiba di Kerajaan Amarta. Namun, di sana ia tidak bertemu para Pandawa. Menurut keterangan Patih Tambakganggeng, kelima Pandawa dan Dewi Drupadi telah dijemput Adipati Yamawidura untuk bersama-sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.

Mendengar berita itu, Prabu Kresna segera memacu kereta untuk mengejar. Namun, ia dihadang Batara Narada yang tiba-tiba turun dari angkasa. Batara Narada mencegah Prabu Kresna ikut campur, karena ini menyangkut takdir yang harus dijalani para Pandawa.

Prabu Kresna heran takdir apa yang akan menimpa para Pandawa. Batara Narada mengingatkan Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu, tentunya tidak perlu ragu bahwa para Pandawa ditakdirkan menjadi kaum kesatria penumpas angkara murka. Namun, mereka lebih dulu harus menjalani ujian dari Yang Mahakuasa demi menguatkan hati dan mendewasakan jiwa. Ujian tersebut akan segera datang, dan Prabu Kresna dilarang keras untuk menggagalkannya.

Prabu Kresna memahami ucapan Batara Narada. Ia pun berjanji tidak akan membantu Pandawa Lima, namun ia minta izin untuk mengawasi mereka. Batara Narada mengizinkan Prabu Kresna boleh mengawasi, tapi tidak boleh membantu para Pandawa sama sekali. Prabu Kresna berterima kasih, lalu mohon pamit melanjutkan perjalanan.

MAHARAJA YUDISTIRA MENERIMA TANTANGAN BERMAIN DADU

Adipati Yamawidura, Maharaja Yudistira, dan para Pandawa lainnya telah tiba di Kerajaan Hastina, sedangkan Dewi Drupadi masuk ke dalam kamar tamu karena sedang datang bulan. Mereka pun disambut oleh Prabu Duryudana yang didampingi Prabusepuh Dretarastra dan Patih Sangkuni. Juga terlihat ada Resiwara Bisma, Danghyang Druna, dan Resi Krepa di belakang mereka.

Prabusepuh Dretarastra berkata bahwa hari ini Prabu Duryudana mengadakan pesta syukuran hari kelahirannya. Ia sengaja mengundang semua kerabat, dan tentunya para Pandawa. Dalam acara kali ini, Prabu Duryudana ingin mengajak Maharaja Yudistira untuk bermain dadu, demi mengenang masa kecil para Pandawa dan Kurawa yang sering main bersama.

Maharaja Yudistira menerima dengan senang hati. Prabu Duryudana berkata bahwa Patih Sangkuni yang akan mewakili dirinya sebagai pelempar dadu. Adipati Yamawidura bertanya, mengapa harus diwakili Patih Sangkuni? Mengapa Prabu Duryudana tidak bermain sendiri sebagai pemimpin Kurawa melawan Maharaja Yudistira sebagai pemimpin Pandawa?

Prabu Duryudana geram mendengar pertanyaan sang paman. Ia pura-pura mogok hendak membatalkan permainan. Maharaja Yudistira yang tidak suka melihat orang lain kecewa segera mengatakan bahwa dirinya bersedia menghadapi Patih Sangkuni sebagai wakil Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar pihak lawan masuk ke dalam perangkapnya.

PATIH SANGKUNI BERMAIN SIHIR

Patih Sangkuni duduk didampingi Prabu Duryudana, Arya Dursasana, dan Adipati Karna. Mereka berhadapan melawan Maharaja Yudistira yang duduk bersama keempat Pandawa lainnya. Permainan dadu pun dimulai. Mula-mula mereka bertaruh kecil-kecilan, yaitu perhiasan dan uang yang mereka bawa. Untuk babak pertama dimenangkan Maharaja Yudistira.

Prabu Duryudana terlihat kecewa kepada Patih Sangkuni. Namun, ia tidak tahu kalau Patih Sangkuni sengaja memberi angin kepada para Pandawa agar mereka lengah. Pada babak kedua, Patih Sangkuni mulai menggunakan ilmu sihirnya. Dadu yang ia buat dari tulang mendiang Prabu Suwala telah diisi dengan mantra sihir. Berapa pun yang angka yang ia minta selalu muncul, seolah dadu tersebut bisa diajak bicara.

Satu persatu harta yang dipertaruhkan Maharaja Yudistira pun berpindah tangan menjadi milik Prabu Duryudana. Melihat itu, Adipati Yamawidura tampil dan mengusulkan agar permainan dihentikan saja, karena pihak Pandawa sudah kehabisan bekal. Namun, Prabu Duryudana tidak bersedia. Ia mengajak Maharaja Yudistira tetap bermain, karena harta kekayaan para Pandawa yang ada di istana Indraprasta masih banyak. Meskipun tidak dibawa, tapi itu bisa untuk dipertaruhkan.

Maharaja Yudistira tidak ingin melihat tuan rumah kecewa. Ia pun mempertaruhkan harta yang ada di istana Indraprasta. Namun, satu persatu lenyap menjadi milik Prabu Duryudana karena kepandaian Patih Sangkuni melempar dadu. Hingga akhirnya istana Indraprasta juga dipertaruhkan, dan kemudian jatuh pula ke pihak lawan.

MAHARAJA YUDISTIRA MEMPERTARUHKAN ADIK-ADIKNYA

Maharaja Yudistira mengaku kalah dan dirinya sudah tidak punya apa-apa lagi. Prabu Duryudana berkata, Maharaja Yudistira masih memiliki empat orang adik yang setia. Mereka tentunya bisa dipertaruhkan. Jika Maharaja Yudistira menang pada babak selanjutnya, maka istana Indraprasta beserta isinya akan dikembalikan lagi.

Adipati Yamawidura bangkit kembali meminta agar permainan dihentikan. Prabu Duryudana menyuruh pamannya itu diam. Seorang adipati tidak berhak memerintah raja. Prabusepuh Dretarastra tampak manggut-manggut, pertanda ia membenarkan ucapan Prabu Duryudana.

Maharaja Yudistira terpancing ucapan Prabu Duryudana. Ia pun mempertaruhkan Raden Sadewa. Namun, Raden Sadewa jatuh pula ke pihak lawan. Yang kedua, ia mempertaruhkan Raden Nakula. Patih Sangkuni dengan ilmu sihirnya lagi-lagi dapat merebut Raden Nakula menjadi milik Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana tertawa senang dan berjanji akan menjadikan si kembar sebagai budak adik kesayangannya, yaitu Arya Dursasana. Ia lalu menantang Maharaja Yudistira untuk mempertaruhkan adik yang lain. Maharaja Yudistira pun mempertaruhkan Raden Arjuna. Patih Sangkuni kembali melemparkan dadu dan Raden Arjuna pun menjadi milik Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana lalu menantang Maharaja Yudistira untuk mempertaruhkan Arya Wrekodara. Maharaja Yudistira setuju dan ia pun mempertaruhkan adik keduanya itu. Lagi-lagi Patih Sangkuni berhasil mengendalikan lemparan dadunya, dan Arya Wrekodara pun jatuh ke tangan Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana tertawa gembira melihat Arya Wrekodara yang sejak kecil menjadi musuh bebuyutannya, kini berubah menjadi budak yang harus melayani dirinya. Resiwara Bisma tidak tahan lagi. Ia meminta Prabusepuh Dretarastra untuk menghentikan permainan gila ini. Prabusepuh Dretarastra hanya diam saja, seolah merestui Prabu Duryudana agar terus bermain. Resiwara Bisma sangat marah karena ucapannya tidak diperhatikan, namun ia tidak tega untuk meninggalkan para Pandawa dalam keadaan seperti ini.

Prabu Duryudana kembali mendesak Maharaja Yudistira untuk melanjutkan permainan. Maharaja Yudistira tidak punya pilihan lain. Ia pun mempertaruhkan dirinya sendiri. Patih Sangkuni kembali beraksi. Kali ini ia berhasil merenggut kemerdekaan Maharaja Yudistira. Prabu Duryudana tertawa senang. Ia tidak sudi mendengar gelar Maharaja Yudistira diucapkan. Mulai saat ini, gelar itu harus dibuang dan kembali memakai nama Prabu Puntadewa saja.

PRABU PUNTADEWA MEMPERTARUHKAN DEWI DRUPADI

Prabu Puntadewa bersedia melepas gelar maharaja yang ia peroleh saat Sesaji Rajasuya. Ia pun meminta agar permainan dadu dihentikan, karena ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan, ia dan keempat adiknya sudah resmi menjadi budak para Kurawa.

Prabu Duryudana mengingatkan bahwa Prabu Puntadewa masih memiliki seorang istri yang cantik tetapi sombong, bernama Dewi Drupadi. Mendengar itu Arya Wrekodara dan Raden Arjuna bangkit hendak melabrak Prabu Duryudana, namun dicegah Prabu Puntadewa.

Prabu Puntadewa sudah kehilangan kemerdekaan, maka ia tidak berani mempertaruhkan Dewi Drupadi. Prabu Duryudana berkata bahwa, meskipun Prabu Puntadewa sudah kehilangan kemerdekaan, tetapi hubungan suami-istri tidaklah putus. Prabu Puntadewa masih berhak untuk mempertaruhkan istrinya. Apalagi kalau babak ini sampai dimenangkan olehnya, maka seluruh Pandawa akan dibebaskan, dan Kerajaan Amarta beserta istana Indraprasta akan dikembalikan pula.

Prabu Puntadewa merasa kasihan pada nasib adik-adiknya yang menjadi budak karena perbuatannya. Maka, ia pun bersedia mempertaruhkan Dewi Drupadi. Patih Sangkuni kembali melempar dadu. Lagi-lagi ia menang dan Dewi Drupadi pun menjadi milik Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana khawatir Adipati Karna bangkit melindungi Dewi Drupadi yang merupakan adik iparnya. Maka, ia pun mengungkit-ungkit peristiwa masa lalu saat sayembara memanah di Kerajaan Pancala, yaitu ketika Adipati Karna dihina Dewi Drupadi sebagai anak kusir yang tidak tahu diri karena berani melamar seorang putri raja. Adipati Karna terpancing amarahnya karena teringat peristiwa tersebut. Ia pun berkata bahwa Dewi Drupadi memang sangat cantik tetapi mulutnya kasar seperti wanita murahan.

Ucapan Adipati Karna membuat Raden Arjuna bangkit dan mengucapkan sumpah. Meskipun mereka bersaudara, namun kelak dirinya akan membunuh Adipati Karna dalam pertempuran. Mendengar sumpah tersebut, Prabu Duryudana marah dan menyuruh Raden Arjuna duduk kembali. Seorang budak dilarang bicara tanpa izin majikan. Prabu Puntadewa segera merangkul Raden Arjuna untuk menyabarkannya.

Sementara itu, Resiwara Bisma, Adipati Yamawidura, dan Resi Krepa hanya bisa tertunduk karena mereka tidak mampu menghentikan kegilaan ini. Danghyang Druna juga menyesal telah terlibat dalam penyusunan rencana permainan dadu tersebut.

DEWI DRUPADI DIPERMALUKAN DI DEPAN UMUM

Prabu Duryudana tertawa senang karena Dewi Drupadi yang pernah menghina dirinya, kini menjadi budak para Kurawa. Ia pun memerintahkan Arya Dursasana menyeret wanita itu untuk dihadirkan di tempat permainan dadu. Arya Dursasana berangkat segera. Ia mendatangi Dewi Drupadi yang beristirahat di kamar tamu karena sedang datang bulan.

Dewi Drupadi heran mendengar dirinya telah dipertaruhkan. Arya Dursasana tidak peduli. Ia langsung menjambak rambut iparnya tersebut dan menariknya agar ikut dengannya. Dewi Drupadi meronta kesakitan, namun Arya Dursasana justru mempercepat langkah kakinya. Dewi Drupadi yang seorang wanita tidak mampu mengikuti langkah Arya Dursasana yang lebih lebar. Ia pun terjatuh di lantai dengan rambut masih dijambak Arya Dursasana.

Tanpa ampun, Arya Dursasana tetap menjambak dan menyeret Dewi Drupadi di lantai hingga akhirnya mereka sampai di tempat perjudian. Semua orang terkejut dan tertunduk malu bercampur marah, terutama para Pandawa. Hanya Prabu Duryudana dan para Kurawa yang tertawa menyaksikan pemandangan ini.

Dewi Drupadi bertanya mengapa dirinya dipertaruhkan. Apakah memang budaya Kerajaan Hastina menganggap wanita sebagai benda yang bisa diperjualbelikan? Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura tertunduk malu tidak bisa menjawab. Prabu Puntadewa dan para Pandawa hanya bisa tertunduk lesu, karena mereka sudah menjadi budak yang tidak memiliki hak untuk bicara.

Ternyata tidak semua Kurawa tertawa menyaksikan pemandangan itu. Raden Durmagati adalah satu-satunya yang diam tidak ikut bergembira. Ia melangkah maju dan meminta kepada Prabu Duryudana agar membebaskan Dewi Drupadi. Raden Durmagati berkata bahwa perbuatan Arya Dursasana yang menjambak dan menyeret Dewi Drupadi akan mencoreng nama baik Kerajaan Hastina di mata dunia.

Raden Durmagati memang Kurawa yang unik. Tubuhnya pendek gemuk, wajahnya buruk rupa, penampilannya lugu seperti anak kecil, namun berpikiran bijaksana. Tidak jarang ia berani mengkritik Patih Sangkuni apabila merencanakan kejahatan untuk para Pandawa. Namun, kritikannya hanya dianggap sebagai angin lalu. Tak disangka, kini ia berani melawan Prabu Duryudana di depan umum. Prabu Duryudana sangat marah dan memerintahkan Raden Kartawarma untuk meringkus Raden Durmagati dan membawanya kembali duduk.

Prabu Duryudana teringat pada ucapan Adipati Karna tadi, bahwa Dewi Drupadi berwajah cantik tetapi mulutnya kasar seperti wanita murahan. Arya Dursasana pun diperintahkan untuk melucuti pakaian Dewi Drupadi. Seorang wanita murahan tidak perlu ditutupi pakaian. Nanti apabila sudah telanjang, maka Dewi Drupadi hendak dipangku di atas paha Prabu Duryudana.

Arya Wrekodara marah mendengarnya. Ia bersumpah akan meremukkan paha Prabu Duryudana dan meminum darah Arya Dursasana apabila berani mempermalukan Dewi Drupadi. Prabu Duryudana tidak peduli dan tetap memerintahkan Arya Dursasana untuk segera bertindak.

Arya Dursasana dengan beringas menarik ujung kain yang dipakai Dewi Drupadi. Meskipun berusaha menahannya, namun kekuatan Dewi Drupadi jauh di bawah Arya Dursasana yang berbadan gemuk tinggi besar. Ia melihat para Pandawa sudah tertunduk lesu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, satu-satunya yang bisa diharapkan hanyalah Prabu Batara Kresna. Dewi Drupadi pun memanggil kakak iparnya itu agar datang menolong.

PRABU BATARA KRESNA MENOLONG DEWI DRUPADI

Prabu Batara Kresna sebenarnya sudah hadir di Kerajaan Hastina sejak tadi, namun ia menggunakan Aji Panglimunan sehingga tidak seorang pun bisa melihat kehadirannya. Karena sudah berjanji di hadapan Batara Narada, maka ia pun diam saja tidak menolong para Pandawa yang dilanda kesusahan.

Namun, kali ini Dewi Drupadi hendak ditelanjangi di depan umum, tidak mungkin Prabu Kresna menutup mata begitu saja. Lagipula ia hanya berjanji tidak akan membantu para Pandawa, sedangkan Dewi Drupadi tidak ia sebutkan dalam janji tersebut. Maka, ia merasa tidak melanggar janji apabila turun tangan membantu adik iparnya tersebut.

Prabu Kresna masih tetap menggunakan Aji Panglimunan, namun dari tangannya keluar kain yang menyambung kepada kain yang dikenakan Dewi Drupadi. Hal itu membuat kain yang dikenakan Dewi Drupadi tidak bisa habis. Arya Dursasana sampai kelelahan menarik kain tersebut namun Dewi Drupadi tidak juga terlihat telanjang. Akhirnya, Arya Dursasana pun jatuh terduduk kehabisan tenaga, sedangkan kain yang ia tarik sudah bertumpuk menggunung setinggi tubuhnya. Dewi Drupadi tetap berpakaian dan ia pun jatuh ke lantai dicekam rasa sedih tak terperikan.

Dewi Drupadi menangis telah dipermalukan di istana mertua. Sebagai menantu dirinya tidak dihargai dan dianggap sebagai benda tak bernyawa. Pada saat itulah muncul Dewi Gandari dan Dewi Kunti mendatanginya. Dewi Kunti segera memeluk tubuh menantunya itu, sedangkan Dewi Gandari melabrak Prabu Duryudana, anaknya sendiri.

PERMAINAN DADU DIULANG KEMBALI

Dewi Gandari memaki Prabu Duryudana dan Arya Dursasana sebagai manusia tak berbudi yang tidak punya tata krama. Prabu Duryudana heran karena selama ini sang ibu selalu mendukung keinginannya, tapi mengapa kali ini justru melabrak dirinya. Dewi Gandari berkata, dirinya memang selalu mendukung Prabu Duryudana, tapi tidak untuk kali ini. Bagaimanapun juga Dewi Gandari dan Dewi Drupadi sama-sama wanita. Menghina satu orang wanita berarti sama dengan menghina semua wanita di dunia. Menghina Dewi Drupadi berarti sama dengan menghina Dewi Gandari. Kali ini Dewi Gandari benar-benar marah. Ia meminta permainan gila ini dibatalkan, dan semua harta benda milik Pandawa harus dikembalikan. Para Pandawa juga harus dibebaskan, tidak boleh lagi menjadi budak para Kurawa.

Prabu Duryudana ingin membantah, namun seumur hidup ia selalu menyayangi ibunya tersebut. Patih Sangkuni mendapat akal. Ia bersedia mengembalikan semua milik Pandawa, namun mengusulkan agar permainan tetap dilanjutkan. Kali ini bentuk taruhannya berbeda, bukan lagi harta benda, tetapi hukuman buang.

Dewi Gandari penasaran dan bertanya, hukuman buang seperti apa yang hendak diusulkan adiknya. Patih Sangkuni menjawab, apabila babak baru nanti dimenangkan para Pandawa, maka para Kurawa harus menjalani hukuman buang ke hutan selama dua belas tahun, kemudian ditambah hidup menyamar di sebuah negeri selama satu tahun. Apabila ketahuan, maka harus mengulang lagi selama dua belas tahun di hutan dan setahun menyamar, begitu seterusnya. Selama masa pembuangan, maka Kerajaan Hastina harus dititipkan kepada para Pandawa. Sebaliknya, apabila para Pandawa yang kalah, maka mereka harus dibuang dengan cara seperti itu. Selama para Pandawa pergi, maka Kerajaan Amarta untuk sementara harus dititipkan kepada para Kurawa.

Dewi Gandari setuju, yang penting tidak boleh lagi ada perbudakan dan penghinaan terhadap wanita. Prabusepuh Dretarastra juga setuju, sedangkan Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura diam saja karena merasa percuma ikut bicara. Prabu Duryudana juga setuju pada usulan Patih Sangkuni, dan ia pun bertanya bagaimana pendapat para Pandawa.

Prabu Puntadewa merasa tidak punya pilihan lain. Ia pun menerima tantangan tersebut. Patih Sangkuni kembali melempar dadu. Sesuai dugaan, babak yang baru ini lagi-lagi dimenangkan oleh pihak Kurawa.

PARA PANDAWA BERANGKAT KE HUTAN

Prabu Puntadewa, Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa mohon pamit untuk mulai menjalani masa pembuangan di hutan. Sesuai perjanjian, mereka pun menitipkan Kerajaan Amarta kepada Prabu Duryudana. Dewi Kunti dan Dewi Drupadi menyatakan ikut serta. Prabu Puntadewa tidak bersedia karena ini adalah kesalahan dirinya, maka ibu dan istrinya dilarang ikut pergi ke hutan.

Adipati Yamawidura tidak tega melihat kakak iparnya ikut menjalani pembuangan. Ia pun meminta Dewi Kunti untuk tinggal di Kadipaten Pagombakan saja. Prabu Puntadewa dan keempat adiknya ikut memohon agar sang ibu menerima tawaran tersebut. Dewi Kunti akhirnya luluh dan bersedia menerima ajakan Adipati Yamawidura.

Prabu Puntadewa lalu mengajak Dewi Drupadi pulang ke Kerajaan Pancala. Selama para Pandawa menjalani masa pembuangan, Dewi Drupadi akan dititipkan kepada sang ayah, yaitu Prabu Drupada. Mendengar itu, Dewi Drupadi mengancam akan bunuh diri. Ia telah dipermalukan di istana Kerajaan Hastina, maka tidak mungkin pulang ke Kerajaan Pancala dengan membawa aib. Baginya lebih baik mati daripada malu bertemu orang tua. Jika Prabu Puntadewa tidak ingin melihat istrinya bunuh diri, maka sebaiknya diizinkan ikut menemani pergi ke hutan. Bahkan, Dewi Drupadi menyatakan sumpah bahwa dirinya tidak akan menata rambut sebelum keramas darah Arya Dursasana. Aib memalukan ini hanya bisa ditebus dengan nyawa Arya Dursasana.

Pada saat itulah muncul Prabu Kresna menampakkan diri. Ia berkata bahwa ini semua adalah takdir yang harus dijalani para Pandawa dan juga Dewi Drupadi. Kehidupan di hutan jangan dianggap sebagai musibah, tetapi hendaknya menjadi sarana untuk melebur dosa dan mendewasakan jiwa, karena kelak para Pandawa akan menjadi kesatria pinilih yang mendapat tugas dari dewata untuk menumpas angkara murka.

Prabu Puntadewa dan para Pandawa lainnya dapat menerima takdir ini. Dewi Drupadi akhirnya diizinkan untuk ikut serta. Mereka lalu memohon restu dan bersama-sama berangkat menuju Hutan Kamyaka untuk menjalani masa pembuangan selama dua belas tahun.

------------------------------ TANCEB KAYON------------------------------
 





Sesaji Rajasuya


Prabu Jarasanda.
------------------------------ ooo ------------------------------

ADANYA BERITA TENTANG PENANGKAPAN PARA RAJA

Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap Raden Setyaka, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Dalam pertemuan itu hadir pula sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura bersama Patih Pragota dan Arya Prabawa.

Prabu Baladewa datang membawa kabar bahwa kedua paman, yaitu Prabu Bismaka raja Kumbina dan Prabu Setyajit raja Lesanpura telah ditangkap oleh dua orang raja dari tanah seberang, bernama Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka. Prabu Baladewa mendapat berita ini dari laporan Raden Rukmaka (putra Prabu Bismaka) yang juga meminta bantuan untuk membebaskan mereka berdua. Prabu Baladewa berangkat mengejar, tetapi ia kehilangan jejak dan terpaksa berbelok menuju Kerajaan Dwarawati untuk merundingkan masalah ini dengan Prabu Kresna.

Arya Setyaki terkejut mendengar berita bahwa ayahnya (Prabu Setyajit) telah ditangkap orang tak dikenal. Ia pun mohon izin kepada Prabu Kresna untuk mengejar kedua musuh bernama Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka tersebut. Prabu Kresna melarang Arya Setyaki berangkat karena ia mendapat firasat bahwa sebentar lagi kedua musuh itu akan datang menyerang Kerajaan Dwarawati.

Prabu Baladewa bertanya siapa sebenarnya dua raja itu dan mengapa mereka menangkap Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit? Prabu Kresna mengatakan bahwa kedua raja itu hanyalah suruhan belaka. Saat ini ada dua orang raja lain yang hendak mengadakan upacara agung, yaitu Prabu Puntadewa yang berniat mengadakan Sesaji Rajasuya, serta Prabu Jarasanda yang hendak mengadakan Sesaji Kalalodra. Bedanya, Sesaji Rajasuya harus dihadiri paling sedikit seratus orang raja, sedangkan Sesaji Kalalodra harus menyembelih seratus orang raja sebagai kurban.

Prabu Jarasanda adalah raja Kerajaan Magada yang beribukota di Giribajra. Menurut penerawangan Prabu Kresna, saat ini Prabu Jarasanda telah menyekap 97 orang raja, termasuk Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit. Untuk menggenapi seratus, Prabu Jarasanda berniat menangkap Prabu Baladewa, Prabu Kresna, dan Prabu Puntadewa. Adapun dua raja bernama Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka adalah bawahan Prabu Jarasanda yang ditugaskan untuk menangkapi para raja calon kurban.

Prabu Baladewa terkejut dirinya menjadi sasaran. Prabu Kresna menjelaskan bahwa Prabu Jarasanda menyimpan dendam kepada keluarga Mandura. Prabu Jarasanda adalah menantu Prabu Gorawangsa raja Guargra, yaitu raja raksasa yang pernah menyamar sebagai Prabu Basudewa (ayah Prabu Baladewa dan Prabu Kresna) dan menghamili Dewi Mahira. Dari hubungan tersebut lahir Prabu Kangsa yang bersahabat dengan Prabu Jarasanda. Ketika dulu Prabu Kangsa tewas dibunuh Prabu Kresna dan Prabu Baladewa semasa muda, hal ini tentu saja membuat Prabu Jarasanda sakit hati. Itu sebabnya Prabu Jarasanda ingin menjadikan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sebagai kurban sesaji, serta digenapi pula dengan Prabu Puntadewa. Adapun dendam kepada para Pandawa adalah karena mereka putra Prabu Pandu, yang mana Prabu Pandu dulu pernah mengalahkan Prabu Jarasanda di masa muda.

Prabu Baladewa lega mendengar bahwa Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka selaku utusan Prabu Jarasanda akan datang untuk menangkap dirinya. Itu artinya ia tidak perlu susah payah mencari mereka berdua. Prabu Kresna justru menyerahkan masalah ini kepada Prabu Baladewa karena dirinya akan berangkat menuju Kerajaan Amarta, membantu para Pandawa mempersiapkan Sesaji Rajasuya. Apabila Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka bisa dikalahkan, maka Prabu Baladewa diminta untuk segera menyusul ke Kerajaan Amarta.

Prabu Baladewa heran dirinya datang untuk merundingkan masalah ini bersama Prabu Kresna, tapi sekarang justru hendak ditinggal pergi ke Kerajaan Amarta. Namun, ia paham watak adiknya sehingga tidak perlu berdebat lagi. Prabu Kresna pun membubarkan pertemuan, dan ia memerintahkan Arya Setyaki serta Patih Udawa untuk membantu Prabu Baladewa menghadapi musuh.

PRABU BALADEWA MENUMPAS PRABU HAMSA DAN PRABU DIMBAKA

Prabu Baladewa mempersiapkan pasukan Dwarawati dan Mandura. Sesuai dugaan Prabu Kresna, ternyata benar pasukan Magada datang menyerang di bawah pimpinan Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka. Kedua raja ini datang untuk menangkap Prabu Kresna.

Namun, Prabu Baladewa sudah bersiaga didampingi Arya Setyaki dan Patih Udawa. Pertempuran sengit pun terjadi. Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka ternyata sulit dibunuh. Apabila Prabu Hamsa mati, maka ia akan hidup kembali setelah mayatnya dilangkahi oleh Prabu Dimbaka. Sebaliknya, Prabu Dimbaka apabila mati juga hidup kembali setelah mayatnya dilangkahi Prabu Hamsa.

Prabu Baladewa tidak kekurangan akal. Ia pun menghunus dua pusaka sekaligus, yaitu Nanggala di tangan kanan dan Alugora di tangan kiri. Kedua pusaka ini masing-masing dihantamkan ke kepala Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka yang menyerang bersama-sama. Kedua raja itu pun tewas untuk selamanya.

PRABU KRESNA MENINJAU PERSIAPAN SESAJI RAJASUYA

Sementara itu, Prabu Kresna telah tiba di Kerajaan Amarta, disambut Prabu Puntadewa dan para Pandawa lainnya. Setelah saling bertanya kabar, Prabu Kresna pun menanyakan bagaimana persiapan Sesaji Rajasuya. Prabu Puntadewa balik bertanya, apa saja yang harus disediakan para Pandawa dalam mengadakan upacara tersebut.

Prabu Kresna menjelaskan bahwa Sesaji Rajasuya adalah upacara yang dilakukan oleh seorang raja dalam rangka mensyukuri berkah atas negaranya yang telah berdiri. Dalam hal ini, Prabu Puntadewa sangat berhak mengadakan upacara tersebut, karena ia menjadi raja atas usahanya sendiri membuka negara Amarta mulai dari awal. Adapun raja lainnya seperti Prabu Baladewa dan Prabu Duryudana tidak bisa mengadakan Sesaji Rajasuya karena mereka menjadi raja karena warisan dari orang tua. Sementara itu, Prabu Kresna yang menjadi raja setelah mengalahkan Prabu Yudakala Kresna juga tidak bisa mengadakan upacara ini karena Kerajaan Dwarawati sudah lebih dulu ada dan tinggal meneruskan saja.

Syarat lainnya adalah, Sesaji Rajasuya harus dipimpin oleh tujuh orang brahmana agung berilmu tinggi, serta disaksikan paling sedikit seratus orang raja dari berbagai negeri. Selain itu, Prabu Puntadewa harus menghilangkan nyawa seorang raja angkara murka. Prabu Puntadewa menyimak dengan seksama. Untuk syarat yang pertama ia telah mengutus para putra Pandawa untuk menjemput para brahmana agung, terutama Bagawan Abyasa dan Resiwara Bisma. Adapun syarat terakhir yang membuat Prabu Puntadewa agak keberatan. Menurutnya, upacara Sesaji Rajasuya lebih baik dibatalkan daripada harus mengorbankan nyawa orang lain.

Prabu Kresna pun bercerita bahwa saat ini Prabu Jarasanda raja Magada telah menyekap 97 orang raja untuk ia sembelih dalam upacara Sesaji Kalalodra. Namun, upacara tersebut tidak bisa diadakan apabila jumlah raja yang dikumpulkan belum mencapai angka seratus. Rencananya, tiga raja yang akan digunakan sebagai penutup adalah Prabu Baladewa, Prabu Kresna, dan Prabu Puntadewa.

Prabu Puntadewa tidak takut apabila dirinya ditangkap dan disembelih Prabu Jarasanda. Namun, yang ia khawatirkan adalah nasib 97 orang raja yang saat ini menjadi tawanan. Bagaimanapun juga mereka harus dibebaskan. Prabu Kresna menjelaskan bahwa paman mereka, yaitu Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit termasuk yang berada dalam tawanan tersebut. Arya Wrekodara dan Raden Arjuna marah mendengarnya. Mereka pun memohon izin kepada Prabu Puntadewa untuk membunuh Prabu Jarasanda dan membebaskan semua raja yang saat ini ditawan.

Prabu Puntadewa menimbang-nimbang. Akhirnya, ia pun setuju membunuh Prabu Jarasanda demi untuk membebaskan 97 orang raja yang menjadi tawanan. Namun, ia memerintahkan Arya Wrekodara dan Raden Arjuna agar membunuh Prabu Jarasanda saja, tidak perlu menumpahkan darah orang lain. Mereka lalu bertanya kepada Prabu Kresna bagaimana cara yang harus ditempuh. Prabu Kresna berkata bahwa Prabu Jarasanda meskipun kejam dan bengis, namun ia sangat alim dalam beragama dan menghormati kaum pendeta. Oleh sebab itu, Prabu Kresna mengajak Arya Wrekodara dan Raden Arjuna untuk menyamar sebagai pendeta saat mendatangi Kerajaan Magada nanti.

Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna, Arya Wrekodara, Raden Arjuna pun mohon pamit berangkat. Prabu Puntadewa merestui kedua adiknya, dan meminta Prabu Kresna untuk melindungi mereka.         

RADEN ABIMANYU MENGHADAP BAGAWAN ABYASA

Sementara itu di Gunung Saptaarga, Raden Abimanyu disertai para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong menghadap sang kakek buyut, yaitu Bagawan Abyasa. Kedatangannya ialah untuk menjalankan perintah Prabu Puntadewa memohon bantuan memimpin upacara Sesaji Rajasuya. Bagawan Abyasa menyatakan bersedia dan mereka lalu berangkat bersama-sama.

Di tengah perjalanan, Raden Abimanyu dan rombongannya berpapasan dengan para raksasa pengikut Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka yang kocar-kacir setelah raja mereka tewas. Para raksasa itu pun menyerang Raden Abimanyu sebagai pelampiasan. Raden Abimanyu dengan tangkas menghadapi mereka semua. Satu persatu raksasa pun berguguran. Namun demikian, jumlah raksasa yang menyerangnya terlalu banyak.

Pada saat itulah muncul Arya Gatutkaca bersama Resiwara Bisma di tempat itu. Arya Gatutkaca segera membantu Raden Abimanyu menumpas habis semua raksasa tersebut tanpa sisa.

Resiwara Bisma yang melihat Bagawan Abyasa segera menghampirinya adiknya tersebut (ayah Resiwara Bisma semasa hidupnya menikah dengan ibu Bagawan Abyasa). Kedua brahmana tua itu pun berpelukan karena lama tidak bertemu. Arya Gatutkaca ditugasi pergi ke Padepokan Talkanda untuk menjemput Resiwara Bisma agar membantu pelaksanaan upacara Sesaji Rajasuya. Resiwara Bisma bersedia, namun ia merasa ilmu Bagawan Abyasa lebih tinggi daripada dirinya, maka ia menyatakan hanya bertindak sebagai pembantu saja. Bagawan Abyasa menyebut Resiwara Bisma terlalu merendahkan diri. Mereka saling tertawa dan kemudian berangkat melanjutkan perjalanan.

MENYUSUP MASUK KE DALAM KOTA GIRIBAJRA

Giribajra adalah ibu kota Kerajaan Magada. Kota tersebut memiliki nama demikian karena terlindung oleh Gunung Cetiyaka. Di puncak gunung terdapat sebuah genderang (tambur) yang bisa berbunyi sendiri apabila ada orang asing datang. Untuk itu, Prabu Kresna pun memerintahkan Raden Arjuna agar menghancurkan genderang tersebut.

Raden Arjuna melaksanakan perintah. Sebelum tambur itu berbunyi, ia lebih dulu melepaskan panah menuju ke puncak Gunung Cetiyaka. Anak panah itu melesat dan menghancurkan genderang tersebut, musnah tanpa sisa.

Arya Wrekodara bertanya mengapa ada genderang yang bisa berbunyi sendiri. Prabu Kresna pun bercerita bahwa raja Magada terdahulu bernama Prabu Wrehadrata. Meskipun memiliki dua istri, namun tidak ada seorang pun yang memberinya keturunan. Prabu Wrehadrata semakin tua dan pergi bertapa, memohon kepada dewata agar bisa memiliki anak. Dewata mengabulkan permohonannya. Prabu Wrehadrata pun mendapatkan sebutir buah mangga pertanggajiwa yang jatuh dari langit.

Karena menyayangi kedua istrinya tanpa pilih kasih, Prabu Wrehadrata membelah dua mangga kahyangan tersebut dan masing-masing diberikan kepada dua istrinya. Setelah memakan potongan buah mangga itu, kedua istri pun mengandung dan melahirkan pada hari yang sama. Namun, masing-masing melahirkan bayi yang hanya sebelah saja.

Prabu Wrehadrata merasa sedih dan membuang kedua potongan bayi itu ke hutan. Di hutan ada raksasi bernama Nyai Jara yang menemukan potongan kedua bayi tersebut. Ketika keduanya diangkat dan didekatkan, ternyata bersatu menjadi bayi utuh yang memiliki nyawa. Nyai Jara merasa sayang dan menjadikannya sebagai anak angkat.

Bayi tersebut tumbuh menjadi pemuda bernama Jaka Slewah, karena tubuhnya tercipta dari dua belahan bayi. Ia menjadi murid Nyai Jara, dan setelah dewasa pergi ke Kerajaan Magada untuk menuntut hak sebagai putra mahkota. Prabu Wrehadrata tidak percaya bahwa Jaka Slewah adalah putranya. Mereka pun berperang. Prabu Wrehadrata gugur di tangan anaknya sendiri, lalu kulitnya dikupas dan dijadikan sebagai genderang. Genderang tersebut bisa berbunyi sendiri karena meminta ingin disempurnakan rohnya. Jaka Slewah mendapat akal. Ia pun menaruh genderang tersebut di puncak Gunung Cetiyaka sebagai pertanda apabila ada orang asing yang datang.

Setelah membunuh ayahnya sendiri, Jaka Slewah lalu menjadi raja Magada bergelar Prabu Jarasanda, artinya “yang disatukan oleh Jara”. Kini Prabu Jarasanda berniat mengadakan Sesaji Kalalodra, yang mana ia mengumpulkan seratus orang raja untuk dikurbankan.

Arya Wrekodara dan Raden Arjuna sangat geram mendengar kekejaman Prabu Jarasanda. Namun, Prabu Kresna melarang mereka gegabah. Apabila masuk ke istana Giribajra hendaknya mereka menyamar terlebih dulu menjadi pendeta, karena Prabu Jarasanda meskipun kejam tetapi sangat menghormati kaum brahmana. Apabila tidak menyamar, maka mereka akan mudah dicurigai dan dikepung oleh pasukan Kerajaan Magada.

Arya Wrekodara mengaku tidak takut menghadapi para prajurit Magada. Prabu Kresna setuju, namun itu artinya membuang-buang waktu dan tenaga. Lagipula, pesan Prabu Puntadewa hanya Prabu Jarasanda saja yang boleh dibunuh, yang lainnya tidak boleh. Arya Wrekodara mematuhi dan mereka bertiga pun segera bertukar busana, menyamar sebagai pendeta.

PRABU JARASANDA MEMARAHI ANAKNYA

Sementara itu di istana Giribajra, Prabu Jarasanda dihadap putranya yang bernama Raden Jayatsena. Dalam pertemuan itu, Raden Jayatsena mengajukan permohonan kepada ayahnya supaya para raja yang berjumlah 97 orang dalam tahanan dibebaskan saja. Raden Jayatsena merasa kasihan apabila mereka disembelih sebagai kurban dalam Sesaji Kalalodra kelak. Jika mereka masih ditawan, maka negera mereka masing-masing akan mengalami kekosongan pemerintahan, dan yang menderita adalah rakyat jelata karena tidak ada kepastian hukum.

Prabu Jarasanda marah-marah mendengar ucapan anaknya. Ia menyebut Raden Jayatsena anak kecil tahu apa. Kalau para raja itu disembelih, tinggal tunjuk saja ahli waris mereka sebagai raja maka negara tidak akan mengalami kekosongan. Hal semudah ini tidak perlu dipikirkan. Justru dengan adanya Sesaji Kalalodra maka Kerajaan Magada akan semakin dilindungi oleh Batara Kala. Adapun Batara Kala adalah dewa penguasa marabahaya. Apabila sang dewa sudah berkenan dengan upacara yang dilakukan oleh Prabu Jarasanda, maka Kerajaan Magada tidak akan dilanda marabahaya lagi.

Raden Jayatsena masih saja mempertahankan pendapatnya. Mengangkat ahli waris sebagai pengganti tidak semudah itu. Apabila ahli warisnya banyak, maka akan terjadi perebutan takhta dan kekacauan negara. Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi korban. Prabu Jarasanda tidak peduli. Jika Raden Jayatsena tetap saja membela para raja tawanan, maka lebih baik pergi saja dari Kerajaan Magada. Raden Jayatsena tidak berani membantah. Ia pun pamit mengundurkan diri ke luar istana, takut melihat kemarahan sang ayah.

PRABU KRESNA MENANTANG PRABU JARASANDA PERANG TANDING

Tidak lama kemudian Prabu Jarasanda mendapat kabar dari patihnya bahwa ada tiga orang brahmana ingin bertemu. Prabu Jarasanda selama hidupnya selalu menghormati brahmana. Ia pun bergegas menyambut mereka dengan penuh tata krama. Ketiga brahmana tersebut mengaku bernama Resi Kesawa, Resi Balawa, dan Resi Parta.

Resi Kesawa selaku pemimpin rombongan langsung berterus terang bahwa kedatangan mereka bertiga adalah meminta Prabu Jarasanda untuk membebaskan para raja yang menjadi tawanan. Untuk apa menambah dosa, lebih baik hidup rukun dalam persahabatan. Bayangkan apabila kelak keluarga 97 raja itu bersatu menggempur Prabu Jarasanda, bukankah ini berbahaya? Prabu Jarasanda tidak peduli, karena jika mereka dikurbankan, maka Batara Kala akan selalu melindungi Kerajaan Magada. Jangankan diserang seratus negara, bahkan diserang seribu negara pun Prabu Jarasanda tetap merasa aman dalam perlindungan Batara Kala.

Resi Kesawa berkata bahwa Batara Kala adalah dewa juga, dan di atas dewa masih ada Tuhan Yang Mahakuasa. Apabila Tuhan berkehendak lain, Batara Kala bisa apa? Prabu Jarasanda tersinggung dewa sesembahannya dihina. Ia mulai curiga pendeta di depannya adalah Prabu Kresna, musuh bebuyutannya. Resi Kesawa merasa tidak perlu menutupi lagi. Ia pun berterus terang bahwa dirinya memang Prabu Kresna, sedangkan Resi Balawa adalah Arya Wrekodara, dan Resi Parta adalah Raden Arjuna.

Prabu Jarasanda senang sekali karena hari ini ia bisa membunuh Prabu Kresna untuk membalaskan kematian sahabatnya, yaitu Prabu Kangsa dua puluh tahun yang lalu. Selama ini Prabu Jarasanda tidak menyerang Kerajaan Dwarawati karena takut pada sekutu Prabu Kresna, yaitu para Pandawa, mengingat dulu dirinya pernah dikalahkan Prabu Pandu. Namun, kini Prabu Kresna dan dua Pandawa datang mengantarkan nyawa, maka Prabu Jarasanda merasa tidak perlu segan-segan lagi.

Prabu Kresna menjelaskan bahwa kedatangannya bukan untuk bertempur besar-besaran, tetapi cukup perang tanding membunuh satu orang saja, yaitu Prabu Jarasanda. Apabila Prabu Jarasanda mati, maka 97 raja yang ditawan harus dibebaskan. Sebaliknya, jika Prabu Jarasanda bisa membunuh salah satu dari Prabu Kresna, Arya Wrekodara, atau Raden Arjuna dalam perang tanding nanti, maka Sesaji Kalalodra boleh dilanjutkan, bahkan Prabu Puntadewa dan Prabu Baladewa akan menyerahkan diri sebagai penggenap jumlah raja yang akan disembelih.

Prabu Jarasanda seorang raja yang pandai bergulat. Ia merasa terhina jika harus bergulat melawan Prabu Kresna dan Raden Arjuna yang berbadan kecil. Maka, ia pun memilih Arya Wrekodara sebagai lawan bertanding. Arya Wrekodara menerima tantangan dengan senang hati, karena sejak tadi ia berharap dirinya yang dipilih.

PERTANDINGAN ANTARA PRABU JARASANDA MELAWAN ARYA WREKODARA

Pertandingan antara Prabu Jarasanda dan Arya Wrekodara pun dimulai. Mereka bertanding di sebuah gelanggang disaksikan segenap prajurit Magada. Dalam pertandingan itu, tampak bahwa keduanya sama-sama kuat dan perkasa. Mereka saling menangkap, saling membanting, saling tendang, dan saling pukul. Tidak bisa dipastikan siapa yang lebih unggul dan siapa yang akan kalah.

Ketika senja tiba, Prabu Jarasanda menghentikan pertandingan untuk beristirahat. Ia sudah menyediakan kamar tamu untuk Prabu Kresna dan rombongannya. Meskipun bermusuhan, tetapi Prabu Jarasanda tetap menjunjung tinggi tata krama. Ia mengirimkan para pelayannya untuk memenuhi segala kebutuhan Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna.

Arya Wrekodara makan dengan lahap. Ia tidak takut makanan diracuni karena semasa muda pernah meminum air ajaib Tirtamanik Rasakunda, sehingga dirinya kebal terhadap segala jenis racun. Hanya Raden Arjuna yang diam tidak mau makan karena takut terkena racun. Prabu Kresna menjelaskan bahwa Prabu Jarasanda memang seorang raja angkara murka, tetapi sangat menjaga harga diri. Prabu Kresna yakin Prabu Jarasanda tidak mungkin melakukan tindakan rendah layaknya seorang pengecut, misalnya menaruh racun dalam hidangan. Lagipula, Prabu Kresna memiliki Kembang Wijayakusuma, sehingga Raden Arjuna tidak perlu merasa khawatir. Setelah mendengar penjelasan demikian, Raden Arjuna baru berani makan.

CARA MEMBUNUH PRABU JARASANDA

Pagi harinya pertandingan antara Prabu Jarasanda dan Arya Wrekodara kembali dilanjutkan. Kali ini mereka bertanding dengan penuh semangat karena badan sama-sama segar. Pertandingan tetap berjalan alot, hingga senja tiba belum ada yang terlihat siapa pemenangnya.

Malam itu kedua pihak kembali beristirahat. Esok harinya pertandingan dilanjutkan, dan pada sore harinya dihentikan. Begitulah yang terjadi hingga beberapa hari. Pada hari ketujuh Prabu Kresna teringat pada kisah kelahiran Prabu Jarasanda. Ia pun berbisik kepada Arya Wrekodara bahwa Prabu Jarasanda dulu berasal dari dua belahan bayi, maka sekarang harus dikembalikan lagi menjadi dua belahan.

Arya Wrekodara paham. Dalam pertandingan hari itu, ia berusaha menangkap kedua kaki Prabu Jarasanda. Ketika bisa ditangkap, ia pun menarik kedua kaki tersebut ke dua arah yang berbeda. Prabu Jarasanda menjerit dan tubuhnya pun terbelah menjadi dua. Namun, sungguh ajaib kedua tubuh itu bersatu kembali seperti sedia kala.

Arya Wrekodara menoleh ke arah Prabu Kresna. Prabu Kresna pun mencabut ilalang dan membelahnya menjadi dua, lalu melemparkannya ke kiri dan ke kanan. Arya Wrekodara paham. Kali ini ia kembali menangkap kaki Prabu Jarasanda dan membelah tubuhnya menjadi dua. Kedua potongan itu lalu dilempar jauh-jauh ke kiri dan ke kanan. Namun, sungguh ajaib keduanya bergerak mendekat dan bersatu lagi, bagaikan tertarik oleh besi sembrani.

Arya Wrekodara bingung dan kembali menoleh kepada Prabu Kresna. Kali ini Prabu Kresna mencoba cara lain. Ia melemparkan potongan ilalang di tangan kiri ke arah kanan, dan melemparkan yang di tangan kanan ke arah kiri. Arya Wrekodara paham. Ia kembali menangkap kedua kaki Prabu Jarasanda dan membelah tubuhnya menjadi dua. Kedua potongan itu lalu dilemparkan menyilang. Belahan tubuh sebelah kiri dilemparkan ke kanan, sedangkan belahan tubuh kanan dilemparkan ke kiri. Kali ini Prabu Jarasanda tidak lagi hidup kembali, tetapi mati untuk selamanya.

PRABU KRESNA MEMBEBASKAN PARA RAJA YANG DITAWAN

Para prajurit Magada takut bercampur marah melihat raja mereka tewas mengerikan. Raden Jayatsena berduka, tetapi ia teringat pesan ayahnya untuk menjaga keamanan tiga musuhnya apabila tewas. Prabu Kresna terkesan pada sikap kesatria Prabu Jarasanda. Ia pun membantu Raden Jayatsena menyelenggarakan upacara jenazah. Jasad Prabu Jarasanda yang sudah terbelah hari itu dibakar dalam dua tempat yang terpisah.

Setelah upacara jenazah Prabu Jarasanda selesai, Raden Jayatsena pun membebaskan 97 orang raja yang ditawan ayahnya. Mereka semua berterima kasih kepada Prabu Kresna dan kedua Pandawa. Selama dalam penjara, makan dan minum mereka selalu diperhatikan oleh Prabu Jarasanda. Itu sebabnya tidak ada raja yang menderita kelaparan, kecuali beberapa orang yang menolak untuk makan, misalnya Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit.

Prabu Kresna kemudian melantik Raden Jayatsena sebagai raja Magada yang baru. Setelah itu, mereka bersama-sama berangkat ke Kerajaan Amarta untuk menghadiri Sesaji Rajasuya.

PELAKSANAAN UPACARA SESAJI RAJASUYA

Prabu Puntadewa merasa bahagia karena semua persyaratan upacara telah terpenuhi. Para raja dari segala penjuru berdatangan memenuhi undangannya. Jumlahnya lebih dari seratus orang. Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sudah pasti hadir. Prabu Salya, Prabu Drupada, Prabu Bismaka, Prabu Setyajit, serta para raja mertua Raden Arjuna juga berdatangan. Hanya Prabu Matsyapati yang tidak hadir mengingat usianya yang sudah tua, melainkan diwakili oleh para putranya, yaitu Arya Seta, Arya Utara, dan Arya Wratsangka.

Prabu Duryudana datang paling akhir bersama Patih Sangkuni dan Adipati Karna. Para pendeta pun membaca puja mantra dipimpin tujuh pendeta agung, yaitu Bagawan Abyasa, Resiwara Bisma, Danghyang Druna, Resi Krepa, Resi Sindupramana, Resi Jayawilapa, dan Resi Sidiwacana. Dalam upacara tersebut para raja yang telah ditawan Prabu Jarasanda berterima kasih karena berkat pertolongan Prabu Puntadewa melalui saudara-saudaranya, mereka bisa terbebas dari maut. Oleh sebab itu, mereka pun sepakat menyebut Prabu Puntadewa sebagai raja agung bergelar Maharaja Yudistira.

Maharaja Yudistira berkata bahwa semua ini berkat bantuan dan nasihat dari Prabu Kresna Wasudewa. Baginya, Prabu Kresna bukan hanya sekadar saudara sepupu, tetapi sudah menjadi dewa pelindung bagi para Pandawa. Prabu Kresna tidak lain adalah titisan Batara Wisnu yang turun ke dunia untuk memelihara ketertiban dunia. Oleh sebab itu, Prabu Kresna sangat layak untuk mendapatkan penghormatan agung dalam upacara ini, dan mulai sekarang Maharaja Yudistira akan menyebut Prabu Kresna dengan panggilan Sri Batara Kresna. Para hadirin pun bertepuk tangan setuju. Mereka sepakat ikut memanggil demikian.

PRABU SISUPALA MEMBUAT KEKACAUAN

Tidak semua raja yang hadir bertepuk tangan. Ada satu orang yang maju ke depan mengajukan keberatan. Orang itu adalah Prabu Sisupala raja Cedi. Ia berkata bahwa Prabu Kresna tidak layak mendapat penghormatan. Menurutnya, Prabu Kresna adalah manusia hina yang semasa muda pernah menjadi gembala, berteman dengan sapi, pernah jadi begal pula, merampok, berjudi, menghisap candu, mabuk-mabukan, dan main perempuan. Prabu Kresna adalah manusia licik penuh tipu daya. Orang seperti dia tidak pantas mendapat penghormatan, bahkan tidak pantas berada dalam acara ini.

Prabu Baladewa marah-marah mendengar adiknya dihina. Begitu pula Arya Wrekodara dan Raden Arjuna ingin melabrak Prabu Sisupala. Namun, mereka dicegah Prabu Kresna. Prabu Baladewa bertanya mengapa Batara Kresna diam saja. Batara Kresna menjawab, dirinya tidak diam tetapi sedang menghitung.

Prabu Sisupala tidak takut dan terus menghina. Ia mengatakan bahwa harusnya Prabu Duryudana raja Hastina yang mendapat penghormatan mulia, karena ia adalah raja paling kaya di antara para raja semuanya. Tiba-tiba Batara Kresna menyatakan cukup, karena Prabu Sisupala sudah berdosa kepadanya lebih dari seratus kali. Prabu Sisupala tidak peduli dan terus-menerus menghinanya. Batara Kresna mengeluarkan senjata Cakra Sudarsana dan menerbangkannya ke arah Prabu Sisupala. Raja Cedi itu pun tewas seketika dengan leher putus.

Prabu Baladewa bertanya mengapa Batara Kresna harus bertindak menunggu seratus hitungan. Batara Kresna pun bercerita bahwa Prabu Sisupala adalah bekas muridnya. Dahulu kala ketika masih menjadi begal, Batara Kresna pernah berkelana hingga ke Kerajaan Cedi. Di sana sang raja yang bernama Prabu Darmagosa sedang bersedih, karena putranya yang bernama Raden Sisupala lahir cacat, yaitu memiliki tiga mata, tiga lengan, dan tiga kaki. Ia mendapatkan ramalan, bahwa orang yang bisa meruwat Raden Sisupala adalah kelak yang akan mengambil nyawa putranya tersebut. Batara Kresna yang saat itu bernama Begal Guwenda datang ke istana Cedi dan menggendong bayi Raden Sisupala. Sungguh ajaib, satu mata, lengan, dan kaki bayi itu lepas sehingga menjadi bayi normal. Prabu Darmagosa berterima kasih, namun juga memohon agar anaknya jangan dibunuh. Begal Guwenda mengaku tidak dapat melawan takdir. Namun, ia berjanji asalkan Raden Sisupala tidak berbuat dosa kepadanya sampai seratus kali, maka tidak akan dibunuh. Prabu Darmagosa berterima kasih dan menyerahkan Raden Sisupala agar menjadi murid Begal Guwenda.

Setelah dewasa Prabu Sisupala justru bersahabat dengan Prabu Jarasanda dan beberapa kali melakukan dosa terhadap Batara Kresna. Hari ini Batara Kresna menghitung sudah genap seratus kali bahkan lebih, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak membunuh Prabu Sisupala.

PRABU DURYUDANA DIPERMALUKAN DEWI DRUPADI

Upacara Sesaji Rajasuya telah berakhir. Para tamu satu persatu pamit pulang ke negara masing-masing. Hanya Prabu Duryudana yang penasaran ingin melihat seperti apa indahnya istana Indraprasta milik para Pandawa. Konon istana Indraprasta dulu pernah ditambahi bangunan oleh Batara Wiswakarma dan Ditya Mayasura, yang dilengkapi tipuan ilusi.

Ketika Prabu Duryudana berjalan seorang diri, ia bertemu panakawan Petruk yang mengingatkannya agar berhati-hati karena di depan ada kolam air. Prabu Duryudana tidak percaya dan menuduh Petruk hendak mempermainkannya. Ternyata benar, karpet yang diinjak Prabu Duryudana adalah kolam. Prabu Duryudana pun tercebur ke dalamnya.

Kebetulan Dewi Drupadi sedang lewat di tempat itu. Ia pun menyebut Prabu Duryudana buta seperti ayahnya. Prabu Duryudana sangat marah mendengar cacat ayahnya disinggung. Ia buru-buru merangkak naik dan pergi meninggalkan tempat tersebut.

Patih Sangkuni datang menyambut Prabu Duryudana yang basah kuyup. Prabu Duryudana marah dan dendam atas penghinaan ini. Ia bersumpah harus bisa ganti mempermalukan Dewi Drupadi di depan umum. Patih Sangkuni menghibur rajanya. Ia pun berjanji akan membantu membalaskan sakit hati Prabu Duryudana.

------------------------------ TANCEB KAYON------------------------------