Dewi Amba



Dewi Amba


RADEN BISMA BERANGKAT KE GIYANTIPURA

Prabu Citrawirya di Kerajaan Hastina dihadap Raden Bisma (kakak tiri), Patih Basusara, Resi Jawalagni, dan para punggawa. Hadir pula sang ibu suri, yaitu Dewi Durgandini. Sudah enam bulan lamanya Prabu Citrawirya menjadi raja menggantikan kakaknya, yaitu Prabu Citranggada yang tewas dibunuh gandarwa bernama sama. Saat itu Prabu Citranggada gugur dalam keadaan belum beristri, apalagi berputra, membuat Dewi Durgandini khawatir jangan-jangan Prabu Citrawirya juga meninggal sebelum memiliki keturunan. Alasannya ialah Prabu Citrawirya sejak kecil sudah sakit-sakitan, dan penyakitnya itu bisa kambuh sewaktu-waktu.

Oleh sebab itu, Dewi Durgandini meminta Prabu Citrawirya harus memiliki permaisuri secepatnya. Tidak hanya itu, demi menjamin keturunan Bagawan Santanu jangan sampai terputus, maka sebaiknya putranya itu menikah dengan perempuan lebih dari satu. Prabu Citrawirya menyadari keadaan dirinya yang kurang sehat dan ia pun mematuhi apa yang menjadi keinginan sang ibu. Akan tetapi, ia sama sekali tidak tahu wanita mana yang harus dinikahi sebagai permaisuri.

Raden Bisma pun melaporkan bahwa raja Giyantipura yang bernama Prabu Darmamuka memiliki empat orang putri dan enam orang putra. Putri yang tiga orang sudah dewasa, bernama Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika, sedangkan yang satu lagi masih kecil, bernama Dewi Ambalini. Sementara itu, keenam putranya terdiri atas tiga orang raksasa bernama Ditya Wahmuka, Ditya Arimuka, dan Ditya Marusmuka, sedangkan yang tiga berwujud ular naga, bernama Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka.

Ketiga putri Prabu Darmamuka yang telah dewasa kini dilamar banyak raja dan pangeran dari berbagai negeri. Karena Prabu Darmamuka bingung menentukan pilihan, maka keenam putranya pun mengadakan sayembara tanding. Barangsiapa dapat mengalahkan ketiga raksasa dan ketiga ular tersebut, maka ia berhak memboyong ketiga putri sekaligus.

Dewi Durgandini tertarik untuk menjadikan Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika sebagai istri putranya. Akan tetapi, mengingat kesehatan Prabu Citrawirya yang kurang baik dan juga tidak memiliki kesaktian cukup, maka sebaiknya Raden Bisma saja yang mewakili berangkat untuk mengikuti sayembara. Raden Bisma pun menyanggupi perintah sang ibu suri. Ia lalu mohon pamit berangkat menjalankan tugas tersebut.

KEENAM PUTRA GIYANTIPURA MENGALAHKAN PARA PELAMAR

Sementara itu di Kerajaan Giyantipura, Prabu Darmamuka dan permaisurinya yang bernama Dewi Ambarawati, beserta keempat putri mereka, yaitu Dewi Amba, Dewi Ambika, Dewi Ambalika, dan Dewi Ambalini sedang duduk menyaksikan gelanggang tempat Ditya Wahmuka, Ditya Arimuka, Ditya Marusmuka, Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka bertanding menghadapi para raja dan pangeran yang mencoba mengikuti sayembara.

Akan tetapi, dari sekian banyak pelamar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ketiga raksasa dan ketiga ular tersebut. Bahkan, tidak sedikit pula dari mereka yang gugur kehilangan nyawa di atas gelanggang pertandingan. Hal ini karena Ditya Wahmuka, Ditya Arimuka, dan Ditya Marusmuka seolah-olah tidak dapat dibunuh. Jika Ditya Wahmuka terluka atau tewas, maka tubuhnya segera dilangkahi Ditya Arimuka dan tiba-tiba pulih kembali. Sebaliknya, jika Ditya Arimuka yang roboh, ia akan segera bangun kembali setelah dilangkahi Ditya Marusmuka, begitu seterusnya. Demikian pula dengan ketiga saudara mereka yang berwujud ular. Jika ada satu yang tewas, maka dua yang lain akan menghidupkan dengan cara saling membelit.

Melihat itu, Prabu Darmamuka merasa khawatir jangan-jangan di dunia ini tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan keenam putranya tersebut. Jika benar demikian, bisa-bisa Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika tidak akan menikah seumur hidup. Namun, Ditya Wahmuka berusaha meyakinkan sang ayah bahwa jodoh ketiga saudarinya pasti akan segera datang.

RADEN BISMA SINGGAH KE GUNUNG SAPTAARGA

Raden Bisma yang telah berangkat ke Giyantipura untuk mengikuti sayembara terlebih dulu singgah di Gunung Saptaarga. Meskipun memiliki kesaktian tinggi, namun ia mendapatkan firasat bahwa keenam putra Prabu Darmamuka sulit untuk dikalahkan. Untuk itu, Raden Bisma pun berniat meminta saran dan petunjuk dari Resi Abyasa sebagai bekalnya mengikuti sayembara tersebut.

Resi Abyasa bercerita bahwa Prabu Darmamuka masih terhitung kakak sepupunya, karena Resi Parasara (ayah Resi Abyasa) adalah saudara sepersusuan Prabu Sadamuka (ayah Prabu Darmamuka). Konon kabarnya Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika dulu dilahirkan pada hari yang sama, dengan satu ari-ari dan tiga tali pusar. Secara ajaib, air ketuban yang mengawali kelahiran mereka berubah menjadi Ditya Wahmuka, kemudian ari-ari berubah menjadi Ditya Arimuka, dan darah nifas menjadi Ditya Marusmuka. Adapun ketiga tali pusar mereka, masing-masing berubah menjadi Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka. Untuk dapat mengalahkan mereka berenam dalam sayembara nanti sebaiknya tidak menggunakan kekerasan, tetapi dengan cara meruwat dan menyempurnakan mereka kembali ke wujud asal.

Untuk itu, Resi Abyasa pun meminta Kyai Semar bersama Nala Gareng, Petruk, dan Bagong supaya ikut berangkat menyertai perjalanan Raden Bisma. Untuk bisa meruwat keenam putra Prabu Darmamuka tersebut tentu saja dibutuhkan nasihat dari Kyai Semar yang berpengetahuan luas. Raden Bisma sangat berterima kasih, lalu ia mohon pamit berangkat menuju Kerajaan Giyantipura bersama keempat panakawan.

RADEN BISMA MEMENANGKAN SAYEMBARA

Demikianlah, Raden Bisma dan para panakawan telah sampai di Kerajaan Giyantipura. Terlebih dulu ia menghadap Prabu Darmamuka untuk meminta izin apabila nanti Dirya Wahmuka dan yang lain terluka atau mungkin terbunuh. Prabu Darmamuka pun mengizinkan. Sejak awal ia sudah merasa siap jika terjadi hal yang buruk pada keenam putranya. Lagipula sayembara ini juga keinginan mereka, dan mereka pun sudah siap mati di atas gelanggang demi mendapatkan jodoh yang terbaik untuk ketiga saudari mereka.

Raden Bisma lantas memasuki gelanggang sayembara menghadapi Ditya Wahmuka, Ditya Arimuka, Ditya Marusmuka, Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka. Dalam perjalanan tadi, ia sempat mempelajari tata cara pengruwatan dari Kyai Semar untuk digunakan menghadapi keenam putra Prabu Darmamuka tersebut.

Maka, begitu memasuki gelanggang, Raden Bisma pun membaca mantra pengruwatan sambil kemudian melepaskan enam panah sekaligus, yang masing-masing pada ujungnya terpasang kunyit welat dan batok bolu. Keenam panah tersebut mengenai sasaran masing-masing. Seketika wujud Ditya Wahmuka kembali berubah menjadi air ketuban, Ditya Arimuka menjadi ari-ari, Ditya Marusmuka menjadi darah nifas, sedangkan Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka menjadi tiga tali pusar. Keenamnya lalu melebur dan musnah bersatu dengan alam semesta.

Prabu Darmamuka dan Dewi Ambarawati prihatin menyaksikan musnahnya keenam putra mereka. Di sisi lain mereka juga senang karena ketiga putri kini telah mendapatkan jodoh. Prabu Darmamuka pun menyerahkan Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika kepada Raden Bisma untuk diboyong ke Kerajaan Hastina.

RADEN BISMA DIHADANG PRABU SALWARUKMA

Dalam perjalanan menuju Kerajaan Hastina, rombongan Raden Bisma dihadang sepupunya, yaitu Prabu Salwarukma putra mendiang Prabu Bahlika. Setelah Prabu Bahlika tewas di tangan Raden Kincaka saat menyerang Kerajaan Wirata, Raden Salwarukma melarikan diri dan membangun kerajaan baru bernama Subapura, sebagai kelanjutan Siwandapura.

Beberapa hari yang lalu Prabu Salwarukma menyusup ke dalam istana Giyantipura dan berkenalan dengan Dewi Amba. Di antara mereka kemudian tumbuh perasaan saling menyukai. Namun demikian, Dewi Amba tetap meminta Prabu Salwarukma meminangnya secara kesatria, yaitu melalui sayembara menghadapi Ditya Wahmuka dan yang lain. Prabu Salwarukma menyanggupi hal itu. Ia lalu pulang ke Subapura untuk mempersiapkan upacara pernikahan karena yakin dirinya pasti dapat memenangkan sayembara tersebut.

Akan tetapi, Prabu Salwarukma datang terlambat di mana Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika telah diboyong Raden Bisma menuju Hastina. Ia pun mengejar dan berhasil menghentikan rombongan tersebut. Prabu Salwarukma lalu menantang Raden Bisma bertarung demi memperebutkan ketiga putri Giyantipura. Ia juga mengejek Raden Bisma sebagai kesatria yang tidak punya pendirian, karena dulu pernah bersumpah hidup membujang tapi mengapa sekarang hendak menikahi tiga putri sekaligus. Tersinggung atas ejekan tersebut, Raden Bisma pun maju melayani tantangan Prabu Salwarukma. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka yang berakhir dengan kekalahan raja Subapura.

Prabu Salwarukma pun merelakan Raden Bisma memboyong ketiga putri Giyantipura ke Hastina. Ia juga berpesan kepada Dewi Amba agar melupakan kisah cinta di antara mereka untuk selamanya. Usai berkata demikian, ia lalu pulang ke Subapura dengan perasaan sedih.

Raden Bisma mempersilakan Dewi Amba jika ingin menyusul ke Subapura. Namun, wanita itu menolak karena dirinya telah menjadi putri boyongan. Bagaimanapun juga ia harus mematuhi apa yang telah menjadi ketetapan sayembara.

DEWI AMBA INGIN MENIKAH DENGAN RADEN BISMA

Dewi Durgandini dan Prabu Citrawirya di Kerajaan Hastina menyambut kedatangan Raden Bisma bersama ketiga putri boyongan. Hadir pula Bagawan Santanu dari Padepokan Talkanda yang ikut berbahagia atas kemenangan putranya. Raden Bisma segera menyerahkan ketiga putri Giyantipura itu kepada ayah dan ibunya untuk dinikahkan dengan Prabu Citrawirya.

Prabu Citrawirya pun menyambut ketiga calon istrinya. Dewi Ambika dan Dewi Ambalika mematuhi keputusan tersebut, sedangkan Dewi Amba terang-terangan menolak. Ia mengaku telah bersumpah hanya mau menikah dengan pemenang sayembara, yaitu Raden Bisma. Ditambah lagi Raden Bisma juga telah mengalahkan Prabu Salwarukma, kekasihnya.

Mendengar itu, Prabu Citrawirya pun menolak menikahi Dewi Amba dan menyerahkannya kembali kepada Raden Bisma. Akan tetapi, Raden Bisma tidak bersedia karena dirinya terikat sumpah tidak akan menikah seumur hidup. Ia memutuskan untuk mengantarkan Dewi Amba pulang ke Giyantipura.

Dewi Amba sangat tersinggung mendengar keputusan tersebut. Ia merasa diperlakukan seperti benda yang bisa dipindah-pindah ke sana kemari begitu saja. Ia pun menyatakan dengan tegas hanya mau menikah dengan Raden Bisma atau tidak sama sekali. Setelah berkata demikian, Dewi Amba lalu pergi meninggalkan Kerajaan Hastina.

BATARA RAMAPARASU MEMBANTU DEWI AMBA

Pada hari yang dianggap baik, diadakanlah upacara pernikahan antara Prabu Citrawirya dengan Dewi Ambika dan Dewi Ambalika sekaligus. Para tamu dan undangan datang dari seluruh penjuru negeri, termasuk juga dari berbagai negeri sahabat, antara lain Prabu Matsyapati dari Wirata, Prabu Mandradipa dari Mandraka, Prabu Mandararya dari Gandaradesa, dan Prabu Gandabayu dari Pancala.

Pada saat pesta berlangsung, tiba-tiba datang Dewi Amba bersama Batara Ramaparasu yang merupakan guru Raden Bisma. Kedatangan Batara Ramaparasu adalah untuk membantu Dewi Amba mendapatkan haknya. Ia menyarankan agar Raden Bisma membatalkan sumpahnya dan bersedia menikahi Dewi Amba. Sebagai guru yang berderajat dewa, ia bersedia menanggung dosa muridnya tersebut.

Akan tetapi, Raden Bisma tetap bersikeras mempertahankan sumpahnya. Ia mengaku keberatan menikahi Dewi Amba, meskipun yang memerintah adalah gurunya sendiri. Batara Ramaparasu tersinggung merasa disepelekan oleh muridnya dan ia pun berniat menggunakan kekerasan untuk memaksa Raden Bisma.

Raden Bisma terpaksa melayani tantangan Batara Ramaparasu. Keduanya lalu bertanding di alun-alun Kerajaan Hastina dengan disaksikan segenap para hadirin. Pertarungan antara mereka pun berlangsung seru. Meskipun sebagai murid, namun Raden Bisma dapat mengimbangi Batara Ramaparasu. Bahkan, lama-lama Batara Ramaparasu merasa terdesak menghadapi kesaktian muridnya itu.

Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan memisah mereka berdua. Batara Narada menjelaskan bahwa Batara Ramaparasu tidak perlu lagi memaksa Raden Bisma menikahi Dewi Amba, karena muridnya itu ditakdirkan hidup membujang selamanya. Di sisi lain, perbuatan Raden Bisma yang mengecewakan seorang wanita akan mendapatkan balasan di kemudian hari. Kelak dirinya ditakdirkan akan meninggal di tangan seorang prajurit wanita.

Setelah berkata demikian, Batara Narada kembali ke kahyangan. Batara Ramaparasu merasa kecewa atas sikap Raden Bisma yang keras kepala, dan ia pun bersumpah tidak mau lagi memiliki murid dari golongan kesatria. Usai berkata demikian ia lantas pergi meninggalkan Kerajaan Hastina.

DEWI AMBA MEMBAKAR DIRI

Dewi Amba sangat kecewa namun merasa tidak dapat berbuat apa-apa kalau memang sudah takdir harus demikian. Dengan perasaan sedih, ia lalu bersamadi mengheningkan cipta. Dari dahinya tiba-tiba keluar setitik api yang lama-lama menjadi besar dan berkobar membakar tubuhnya sendiri. Dewi Amba pun tewas menjadi abu dalam waktu sekejap.

Raden Bisma dan para hadirin hanya bisa terkejut melihat kejadian yang sangat cepat itu. Dewi Ambika dan Dewi Ambalika menangis meratapi kematian kakak mereka yang mengenaskan. Raden Bisma juga ikut menyesali kejadian itu. Ia menyatakan rela jika kelak arwah Dewi Amba datang untuk menjemput ajalnya. Seketika suasana pesta perkawinan pun berubah menjadi duka cita.

Resi Jawalagni selaku kepala pandita Kerajaan Hastina segera memimpin upacara mendoakan arwah Dewi Amba. Setelah upacara berakhir, para tamu undangan pun mohon pamit kembali ke negeri masing-masing.

Raden Bisma melawan Batara Ramaparasu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih jika anda mau untuk meninggalkan jejak anda dengan berkomentar di blog ini.