Dewabrata Lahir



Prabu Santanu

PRABU SANTANU MELAPORKAN SERANGAN PRABU BAHLIKA KE WIRATA

Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata dihadap Raden Wrehadrata (putra sulungnya), Patih Wasita, Arya Manungkara, dan Aryaprabu Kistawa. Tidak lama kemudian hadir pula Prabu Santanu dari Kerajaan Hastina yang melaporkan bahwa kakaknya, yaitu Prabu Bahlika raja Siwandapura hendak menyerang Kerajaan Wirata. Prabu Santanu mengaku telah menerima surat dari Prabu Bahlika yang berisi ajakan untuk membalas dendam atas kematian ayah mereka.

Belasan tahun silam, Prabu Pratipa Dewamurti raja Hastina gugur di tangan Aryaprabu Kistawa saat menyerang Kerajaan Wirata. Ketiga putranya mengalami nasib yang berbeda. Raden Dewapi yang sulung hidup menyepi di hutan dan tidak diketahui lagi bagaimana kabarnya. Raden Bahlika melarikan diri ke Kerajaan Siwandapura (tempat ibunya berasal) dan menjadi raja di sana. Sementara Raden Santanu si putra bungsu menyerah kepada pihak Wirata dan mewarisi takhta Kerajaan Hastina.

Kini, hubungan antara Kerajaan Wirata dan Hastina tidak lagi sebagai atasan dan bawahan, tetapi sudah menjadi sekutu yang sederajat. Namun demikian, Prabu Santanu tetap menganggap Prabu Wasupati sebagai sesepuh yang dihormati. Itulah sebabnya, surat ajakan balas dendam dari kakaknya pun ia tolak dengan tegas. Prabu Santanu menyatakan, jika Prabu Bahlika datang menyerang Tanah Jawa, maka kekuatan Hastina siap berdiri di depan Wirata.

Prabu Wasupati merasa terharu atas sikap Prabu Santanu tersebut. Ia pun memerintahkan Patih Wasita untuk menyiapkan pasukan demi menghadapi datangnya serangan dari Kerajaan Siwandapura.

PRABU SANTANU MEMUKUL MUNDUR KAKAKNYA

Beberapa waktu kemudian, apa yang dilaporkan Prabu Santanu menjadi kenyataan. Prabu Bahlika dan Patih Wikuntana datang bersama pasukan Siwandapura menggempur Kerajaan Wirata. Sesuai janjinya, Prabu Santanu dibantu Patih Basusara pun menempatkan pasukan Hastina di garis depan untuk menghadapi serangan tersebut.

Prabu Bahlika terkejut melihat tindakan adik bungsunya itu. Prabu Santanu tidak hanya menolak membantunya membalas dendam, tetapi justru memihak musuh yang seharusnya diperangi bersama. Prabu Santanu menjawab bahwa ia tidak menganggap Prabu Wasupati sebagai musuh, tetapi menganggapnya sebagai sesepuh pengganti orang tua. Mengenai sang ayah yang gugur di tangan Aryaprabu Kistawa, itu pun bukan kesalahan pihak Wirata. Prabu Pratipa sendiri yang lebih dulu menyerang Wirata sehingga akhirnya menemui ajal di dalam pertempuran.

Prabu Bahlika tidak peduli pada segala alasan yang disampaikan Prabu Santanu. Ia tetap menganggap Prabu Wasupati dan Aryaprabu Kistawa sebagai musuh besar. Jika Prabu Santanu berada di pihak Wirata, maka adiknya itu akan dianggapnya sebagai musuh pula. Usai berkata demikian, ia lalu memerintahkan pasukan Siwandapura untuk maju memulai pertempuran.

Prabu Santanu yang sudah bertekad membela Kerajaan Wirata pun mengerahkan pasukan Hastina untuk menghadapi serangan tersebut. Pertempuran sengit terjadi di antara mereka. Saling serang dan saling berusaha mengalahkan. Menjelang senja, pihak Siwandapura mulai terlihat kewalahan. Prabu Santanu berhasil melukai Prabu Bahlika, sehingga kakaknya itu terpaksa memerintahkan pasukannya untuk mundur meninggalkan Kerajaan Wirata.

Prabu Wasupati berterima kasih atas bantuan Prabu Santanu yang berhasil memukul mundur Prabu Bahlika dan pasukannya. Prabu Wasupati kemudian menjamu Prabu Santanu, Patih Basusara, dan segenap pasukan Hastina sebagai perayaan atas kemenangan tersebut.

PRABU SANTANU MENIKAH DENGAN DEWI JAHNAWI

Setelah dirasa cukup, Prabu Santanu dan pasukannya mohon pamit meninggalkan Kerajaan Wirata. Dalam perjalanan pulang menuju Hastina, Prabu Santanu bertemu seorang wanita berparas cantik di dekat Sungai Silugangga. Wanita itu mengaku bernama Dewi Jahnawi yang hidup sebatang kara tidak memiliki sanak saudara.

Prabu Santanu seketika jatuh cinta dan ia pun mengutarakan niatnya ingin menikahi Dewi Jahnawi. Saat ini usia Prabu Santanu hampir mencapai tiga puluh tahun namun belum memiliki istri sama sekali. Dewi Jahnawi pun menerima lamaran tersebut. Maka, ia lalu diboyong ke Kerajaan Hastina untuk dijadikan sebagai permaisuri di sana.

LAHIRNYA RADEN DEWABRATA

Sembilan bulan berlalu setelah perkawinan itu. Dewi Jahnawi melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Dewabrata. Akan tetapi, ia meninggal dunia setelah melahirkan dan jasadnya musnah, berubah menjadi seorang bidadari. Ternyata Dewi Jahnawi adalah penjelmaan Batari Ganggawati, putri Batara Ganggadenta. Prabu Santanu sangat berduka sekaligus terkejut melihat perubahan wujud istrinya itu.

Batari Ganggawati pun bercerita bahwa pada mulanya ia adalah waranggana di Kahyangan Suralaya. Ketika sedang menari dan bernyanyi menghibur para dewa, tanpa sengaja pakaiannya terlepas karena tidak diikat dengan baik. Batara Indra sangat marah dan menuduh Batari Ganggawati melakukan perbuatan ceroboh. Batari Ganggawati pun diturunkan ke dunia sebagai manusia biasa, dan bisa kembali ke kahyangan apabila telah melahirkan seorang putra raja.

Prabu Santanu sangat prihatin karena itu berarti permaisurinya akan pergi meninggalkan dirinya. Batari Ganggawati pun menghiburnya agar jangan terlalu bersedih. Sebelum berpisah, ia meramalkan bahwa Kerajaan Hastina kelak akan menjadi negeri yang sangat besar, bahkan melebihi keagungan Wirata. Untuk itu, Raden Dewabrata sebaiknya dipersiapkan menjadi raja yang adil dan bijaksana, yang menguasai ilmu kenegaraan dan keprajuritan. Batari Ganggawati pun berniat membawa putra mereka itu ke kahyangan untuk dididik para dewa, dan kelak akan dikembalikan lagi ke Hastina setelah menamatkan pendidikan. Mengenai ilmu kenegaraan, Batari Ganggawati akan meminta Batara Wrehaspati untuk mengajar, sedangkan untuk ilmu keprajuritan, Batara Ramaparasu yang akan dimintai kesediaannya menjadi guru bagi Raden Dewabrata.

Dengan berat hati, Prabu Santanu pun melepaskan kepergian Batari Ganggawati yang terbang menuju Kahyangan Suralaya sambil menggendong Raden Dewabrata.

DEWI DURGANDINI DAN RADEN DURGANDANA BERTAPA

Tujuh tahun berlalu setelah peristiwa itu. Kyai Dasa di Desa Matsya menerima kunjungan Aryaprabu Kistawa yang diutus Prabu Wasupati. Kedatangan adik raja tersebut adalah untuk menyampaikan petunjuk dewata kepada kedua anak Prabu Wasupati yang dititipkan kepada Kyai Dasa, supaya mereka memulai bertapa demi mendapatkan kesembuhan dari penyakit mereka, yaitu berbau amis sejak lahir.

Kyai Dasa lalu menghadirkan kedua anak asuhnya tersebut, yang ia panggil dengan nama Rara Amis dan Jaka Matsya. Keduanya pun diberi tahu bahwa nama asli mereka masing-masing adalah Dewi Durgandini dan Raden Durgandana, yang merupakan putri dan putra Prabu Wasupati dari Kerajaan Wirata. Mereka berdua sangat terkejut begitu mengetahui kalau ayah kandung mereka ternyata seorang raja.

Aryaprabu Kistawa menjelaskan kepada kedua keponakannya itu, bahwa Prabu Wasupati sama sekali tidak membuang mereka, tetapi menitipkan kepada Kyai Dasa sesuai petunjuk dewa. Kini, usia mereka telah genap dua puluh tahun, dan Dewata telah memberikan petunjuk agar keduanya memulai pertapaan demi mendapatkan kesembuhan. Untuk itu, Dewi Durgandini hendaknya melakukan tapa ngrame di Sungai Jamuna sebagai tukang perahu yang menyeberangkan siapa saja tanpa imbalan, sedangkan Raden Durgandana hendaknya bertapa ngidang di Hutan Krendayana, yaitu hidup dengan memakan rumput saja.

Dewi Durgandini dan Raden Durgandana mematuhi, lalu keduanya memohon restu kepada Aryaprabu Kistawa dan Kyai Dasa untuk memulai bertapa.

RADEN DURGANDANA MENDAPATKAN KESEMBUHAN

Sudah empat puluh hari lamanya Raden Durgandana bertapa ngidang di Hutan Krendayana. Pada suatu hari ia didatangi seekor harimau lapar yang ingin memangsanya. Teringat pada pesan Aryaprabu Kistawa yang menyuruhnya untuk meniru perilaku seekor kijang, Raden Durgandana pun sama sekali tidak melawan. Ia merasa ikhlas andaikata hidupnya harus berakhir sebagai mangsa harimau lapar tersebut.

Tiba-tiba sang harimau berubah wujud menjadi Batara Kalakeya, yaitu dewa yang dulu pernah berjanji kepada Resi Srimadewa untuk meruwat putra Prabu Wasupati. Ia pun memperkenalkan diri kepada Raden Durgandana dan menyatakan bahwa sang pangeran telah lulus ujian keikhlasan, sehingga berhak mendapatkan kesembuhan.

Raden Durgandana lalu duduk bersila mengheningkan cipta, sedangkan Batara Kalakeya meraba sekujur tubuhnya untuk menghisap penyakit bau amis yang ia derita sejak lahir. Selang agak lama, Batara Kalakeya pun mengakhiri pengobatan dan Raden Durgandana dinyatakan telah sembuh seperti manusia normal pada umumnya.

Pada saat itulah Aryaprabu Kistawa datang menjenguk ke Hutan Krendayana. Ia pun menyampaikan sembah hormat kepada Batara Kalakeya yang telah menyembuhkan keponakannya. Batara Kalakeya menjelaskan bahwa dirinya hanya ditakdirkan untuk menyembuhkan Raden Durgandana saja. Sementara itu, orang yang ditakdirkan bisa menyembuhkan Dewi Durgandini adalah Resi Parasara dari Gunung Saptaarga. Akan tetapi, Dewi Durgandini sampai saat ini belum ikhlas menjalani pertapaannya sehingga peristiwa pertemuannya dengan Resi Parasara mungkin masih lama baru bisa terjadi. Batara Kalakeya telah mengamati Dewi Durgandini yang masih sering mengeluh mengapa harus menjadi tukang perahu dan hidup di desa terpencil, padahal ia adalah putri seorang raja besar.

Aryaprabu Kistawa memaklumi hal itu. Setelah dirasa cukup, Batara Kalakeya pun undur diri kembali ke kahyangan, sedangkan Aryaprabu Kistawa dan Raden Durgandana berangkat menuju Kerajaan Wirata.

PRABU WASUPATI MEMBANGUN KERAJAAN MAGADA

Prabu Wasupati dan Dewi Swargandini di Kerajaan Wirata menyambut kedatangan Raden Durgandana dan Aryaprabu Kistawa dengan penuh suka cita. Namun, mereka juga prihatin mendengar tentang Dewi Durgandini yang belum memperoleh kesembuhan sampai saat ini. Sebagai ungkapan syukur, Prabu Wasupati pun mengirimkan hadiah beraneka macam kepada Kyai Dasa di Desa Matsya yang selama ini telah mengasuh kedua anaknya dengan sangat baik dan penuh kesabaran.

Beberapa hari kemudian, putra sulung Prabu Wasupati yang lahir dari mendiang Dewi Yukti, yaitu Raden Wrehadrata bermimpi bahwa dirinya tidak boleh menjadi raja Wirata karena kelak akan memiliki keturunan yang berwatak angkara murka. Begitu terbangun dari tidurnya, Raden Wrehadrata pun melaporkan hal itu kepada sang ayah. Ia menyatakan rela untuk tidak menjadi raja dan menyerahkan kedudukannya sebagai pangeran mahkota kepada Raden Durgandana, adik tirinya.

Prabu Wasupati sangat terharu mendengar pernyataan Raden Wrehadrata yang penuh keikhlasan tersebut. Karena Dewata telah memberikan petunjuk kepada putra sulungnya melalui mimpi, maka Prabu Wasupati tidak bisa menolak hal itu. Sebagai ganti, Prabu Wasupati pun memerintahkan Patih Wasita agar membuka Hutan Magada yang terletak di kaki Gunung Cetiyaka menjadi negeri baru untuk diserahkan kepada Raden Wrehadrata. Prabu Wasupati berpendapat, jika Raden Wrehadrata menjadi raja di Magada, bukan di Wirata, maka ramalan Dewata tidak akan berlaku lagi.

Demikianlah, beberapa bulan kemudian Hutan Magada telah berubah menjadi sebuah negeri baru, yang diberi nama Kerajaan Magada. Raden Wrehadrata pun dilantik sebagai raja di sana, bergelar Prabu Wrehadrata. Ia berjanji tidak akan menginjakkan kaki di Kerajaan Wirata untuk selamanya, supaya keturunannya kelak tidak mengetahui bahwa dirinya memiliki darah Wirata.

(Usaha Prabu Wasupati untuk menggagalkan ramalan dewa sepertinya tidak berguna. Kelak setelah beberapa puluh tahun berlalu, Prabu Wrehadrata akhirnya memiliki seorang anak yang angkara murka, bernama Prabu Jarasanda. Ia sendiri bahkan tewas dibunuh anaknya itu. Kemudian Prabu Jarasanda akhirnya tewas di tangan Raden Wrekodara, keturunan Dewi Durgandini.)

Prabu Wasupati alias Prabu Basuparicara

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih jika anda mau untuk meninggalkan jejak anda dengan berkomentar di blog ini.