Satrukem Krama
KERAJAAN WIRATA MENDAPAT TANTANGAN DARI KERAJAAN MADENDA
Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jatikanda, Resi Suganda, Empu Purbageni, Arya Jayaloka, dan para punggawa lainnya. Ketika mereka sedang membahas jalannya pemerintahan, tiba-tiba datang seorang tamu dari Kerajaan Madenda di Tanah Hindustan, bernama Patih Nitibawa. Ia diutus rajanya yang bernama Prabu Drumanasa untuk menyampaikan surat lamaran kepada Dewi Dwarawati, adik ipar Prabu Basukesti.
Prabu Basukesti tidak dapat menerima lamaran tersebut karena Dewi Dwarawati sudah menjadi istri Empu Purbageni. Patih Nitibawa dengan angkuh menyarankan supaya Dewi Dwarawati bercerai saja dengan Empu Purbageni, untuk kemudian menerima lamaran Prabu Drumanasa.
Mendengar itu, Empu Purbageni marah dan menitip pesan kepada Patih Nitibawa, yaitu jika ingin memperistri Dewi Dwarawati, maka Prabu Drumanasa harus melangkahi mayatnya terlebih dahulu. Patih Nitibawa pun undur diri kembali ke perkemahan rajanya untuk menyampaikan pesan tersebut.
Prabu Basukesti lalu memerintahkan Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka mempersiapkan pasukan untuk berjaga-jaga. Nanti apabila pihak Prabu Drumanasa mengerahkan pasukannya untuk mengeroyok Empu Purbageni, maka hendaknya Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka tidak tinggal diam.
Setelah membubarkan pertemuan, Prabu Basukesti pun masuk ke dalam kedaton di mana kedua istrinya, yaitu Dewi Pancawati dan Dewi Sugandi telah menunggu di depan gapura.
PASUKAN MADENDA DIPUKUL MUNDUR
Patih Nitibawa telah kembali ke perkemahan menghadap Prabu Drumanasa untuk melaporkan tentang lamarannya yang ditolak. Prabu Drumanasa sangat kecewa karena ia ingin sekali menikahi Dewi Dwarawati supaya bisa bersekutu dengan Kerajaan Wirata. Sebenarnya saat ini istana Madenda sedang diduduki musuh dari Kerajaan Duhyapura sehingga Prabu Drumanasa terpaksa mengungsi ke Tanah Jawa bersama Patih Nitibawa dan pasukannya yang masih tersisa. Niat di hatinya ingin menjalin persekutuan dengan Kerajaan Wirata melalui perkawinan, tak disangka Dewi Dwarawati yang diharapkannya telah menjadi istri Empu Purbageni.
Karena sudah kepalang tanggung, Prabu Drumanasa pun berangkat memenuhi tantangan Empu Purbageni yang sudah menunggu di alun-alun. Begitu berhadapan, mereka langsung bertarung satu lawan satu dengan disaksikan Prabu Basukesti, Patih Jatikanda, Arya Jayaloka, dan para punggawa lainnya. Pertarungan sengit itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya dimenangkan oleh Empu Purbageni.
Prabu Drumanasa sangat malu dikalahkan oleh seorang empu di hadapan para prajuritnya. Ia pun memerintahkan Patih Nitibawa dan pasukannya maju mengeroyok Empu Purbageni. Melihat itu, Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka segera mengerahkan pasukan Wirata untuk menghadang mereka. Pertempuran pun terjadi. Banyak korban berjatuhan di antara mereka. Hingga akhirnya, Patih Nitibawa pun gugur di tangan Patih Jatikanda.
Melihat pihaknya semakin terdesak, Prabu Drumanasa merasa tidak mampu lagi bertahan. Ia pun memerintahkan para prajuritnya yang masih tersisa untuk mundur meninggalkan Kerajaan Wirata. Sementara itu, Patih Jatikanda sendiri terlihat sangat letih setelah membunuh Patih Nitibawa. Tiba-tiba ia pun roboh dan tak bernapas lagi untuk selamanya.
Kerajaan Wirata berhasil mengusir musuh, namun juga berkabung atas meninggalnya Patih Jatikanda yang telah lama mengabdi sejak zaman mendiang Prabu Basumurti. Setelah upacara pemakaman selesai, Prabu Basukesti pun melantik Arya Jayaloka sebagai menteri utama yang baru, bergelar Patih Jayaloka.
BAMBANG SATRUKEM JATUH CINTA KEPADA BIDADARI
Sementara itu, Resi Manumanasa di Padepokan Saptaarga sedang dihadap ketiga putranya, yaitu Bambang Satrukem, Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa, serta para pengikut, yaitu Putut Supalawa, Janggan Smara, dan Wasi Dwapara. Resi Manumanasa menanyai Bambang Satrukem mengapa akhir-akhir ini tampak gelisah dan sering menyanyikan tembang yang berisikan syair kerinduan. Bambang Satrukem merasa malu jika menjawab di hadapan banyak orang. Resi Manumanasa pun membubarkan pertemuan sehingga hanya tinggal mereka berdua saja yang tersisa.
Bambang Satrukem lalu bercerita bahwa sebulan yang lalu ia bertemu seekor ular besar di kaki Gunung Saptaarga. Dengan cekatan ia pun memanah ular besar tersebut. Sungguh ajaib, ular besar itu musnah dan berubah wujud menjadi seorang bidadari yang mengaku bernama Batari Nilawati. Biadadari itu bercerita bahwa dirinya mendapat kutukan dari Batara Guru karena melakukan suatu kesalahan. Kini, ia telah teruwat berkat bantuan Bambang Satrukem. Setelah berterima kasih, Batari Nilawati pun mohon pamit kembali ke kahyangan.
Sejak bertemu Batari Nilawati itulah siang dan malam Bambang Satrukem selalu terkenang kepadanya. Resi Manumanasa merasa maklum karena putra sulungnya itu telah tumbuh dewasa. Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan mengunjungi Resi Manumanasa. Batara Narada menceritakan bahwa Batari Nilawati sebenarnya juga jatuh hati kepada Bambang Satrukem yang telah meruwat dirinya dari kutukan. Akan tetapi, sebagai wanita ia merasa malu jika harus menyatakan cinta terlebih dahulu. Untuk itu, Batari Nilawati memohon izin kepada Batara Guru untuk tidak lagi menjadi bidadari, dan selanjutnya ia akan tinggal di Gunung Pujangkara dengan nama Dewi Nilawati.
Setelah mendapat izin dari Batara Guru, Dewi Nilawati pun mengadakan sayembara untuk mendapatkan suami. Ia mengolah buah labu kahyangan menjadi minuman yang diberi nama Kamandalu Matula. Barangsiapa mampu meneguk habis minuman tersebut, maka orang itu berhak memperistri dirinya. Demikianlah, meskipun jatuh cinta kepada Bambang Satrukem, namun demi menjaga kehormatan, Dewi Nilawati pun mengadakan sayembara tersebut. Ia berharap semoga Bambang Satrukem datang ke Gunung Pujangkara mengikuti sayembara dan bisa memenangkan dirinya.
Resi Manumanasa dan Bambang Satrukem terkesan mendengar cerita Batara Narada. Bambang Satrukem lalu mohon restu kepada sang ayah untuk mengikuti sayembara tersebut. Resi Manumanasa merestui, lalu meminta Janggan Smara untuk menemani putra sulungnya itu pergi ke Gunung Pujangkara.
WASI DWAPARA BERTEMU PRABU DRUMANASA
Ketika Batara Narada bercerita tentang Dewi Nilawati tadi, diam-diam Wasi Dwapara mengintai dan menguping pembicaraan mereka. Mendengar ada bidadari menggelar sayembara di Gunung Pujangkara, Wasi Dwapara sangat tertarik dan ingin sekali mengikutinya. Maka, ia pun turun gunung meninggalkan Padepokan Saptaarga untuk mendahului kepergian Bambang Satrukem dan Janggan Smara.
Di tengah perjalanan, Wasi Dwapara bertemu rombongan Prabu Drumanasa yang baru saja kalah perang melawan Kerajaan Wirata. Mereka senang sekali bisa bertemu karena Prabu Drumanasa terhitung masih keponakan Wasi Dwapara. Prabu Drumanasa adalah anak Prabu Wagirata, sedangkan Prabu Wagirata adalah anak Prabu Durmapati. Adapun Prabu Durmapati adalah kakak Prabu Durapati, dan mereka adalah sesama putra Prabu Basukirata. Prabu Durapati tersebut tidak lain adalah ayah dari Wasi Dwapara.
Pada suatu hari Prabu Wagirata raja Madenda mendengar kabar bahwa Prabu Dwapara kalah perang di Tanah Jawa dan tidak diketahui bagaimana nasibnya, sedangkan Patih Durbara mendapat pengampunan dari raja Jawa. Setelah pulang ke Kerajaan Duhyapura, Patih Durbara menyerahkan takhta untuk diduduki putranya yang bernama Bambang Basuki, bergelar Prabu Basukiyana. Patih Durbara sendiri lalu menjadi pandita kerajaan, bergelar Resi Kuntadruwasa.
Tindakan Patih Durbara ini membuat Prabu Wagirata marah. Ia lalu menyerang Kerajaan Duhyapura untuk menurunkan Prabu Basukiyana. Akan tetapi, Prabu Wagirata sendiri justru gugur dalam peperangan.
Prabu Wagirata lalu digantikan putranya yang bergelar Prabu Drumanasa sebagai raja Madenda. Perang melawan Kerajaan Duhyapura dilanjutkan kembali. Akan tetapi, Prabu Drumanasa yang masih muda belia dan miskin pengalaman itu pun mendapatkan kekalahan. Kerajaan Madenda bahkan direbut oleh Prabu Basukiyana dan dijadikan satu dengan Kerajaan Duhyapura.
Demikianlah, Prabu Drumanasa lalu pergi ke Tanah Jawa untuk menjalin persekutuan dengan Prabu Basukesti raja Wirata, melalui lamaran terhadap Dewi Dwarawati. Tak disangka, Dewi Dwarawati ternyata sudah menikah dengan Empu Purbageni. Prabu Drumanasa berusaha merebut Dewi Dwarawati secara paksa, namun mengalami kekalahan.
Kini, Prabu Drumanasa sangat senang bisa bertemu Wasi Dwapara dan mengajaknya kembali ke Tanah Hindustan untuk merebut takhta Kerajaan Duhyapura dan Madenda dari tangan Prabu Basukiyana.
Wasi Dwapara prihatin mendengar riwayat keponakannya itu. Ia pun bercerita bahwa setelah dirinya kalah perang melawan Kerajaan Wirata dulu, ia lalu ditampung pamannya dari pihak ibu, yaitu Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga dan dijadikan sebagai murid. Soal ajakan kembali ke Tanah Hindustan, Wasi Dwapara menolak karena ia sudah terlanjur betah tinggal di Pulau Jawa. Lagipula, ia rela negerinya dipimpin Prabu Basukiyana, karena sesungguhnya Prabu Basukiyana adalah kakak iparnya sendiri. Sebelum menikah dengan Dewi Kaniraras (ibu Wasi Dwapara), mendiang Prabu Durapati telah memiliki seorang anak perempuan dari istri terdahulu yang bernama Dewi Dalupi. Setelah dewasa, Dewi Dalupi menikah dengan Bambang Basuki, putra Patih Durbara. Karena Prabu Dwapara telah kalah perang di Tanah Jawa dan tidak diketahui bagaimana nasibnya, maka wajar apabila Patih Durbara menyerahkan takhta Duhyapura kepada Bambang Basuki, karena putranya itu adalah menantu Prabu Durapati, raja terdahulu.
Karena Wasi Dwapara tidak bersedia pulang ke Duhyapura, Prabu Drumanasa tidak mau memaksa lagi. Ia justru ingin menemani pamannya itu menuju Gunung Pujangkara untuk mengikuti sayembara yang diadakan seorang bidadari, bernama Dewi Nilawati.
BAMBANG SATRUKEM MEMENANGKAN SAYEMBARA
Di Gunung Pujangkara, Dewi Nilawati menerima kedatangan Wasi Dwapara dan Prabu Drumanasa. Tidak lama kemudian hadir pula Bambang Satrukem yang ditemani Janggan Smara. Mereka semua datang untuk mengikuti sayembara meminum air Kamandalu Matula yang diperas Dewi Nilawati dari buah labu kahyangan.
Karena Wasi Dwapara lebih tua dan datang lebih awal, Bambang Satrukem pun mempersilakan kakak sepupunya itu untuk meminum terlebih dulu. Air Kamandalu Matula itu disimpan Dewi Nilawati dalam sebuah kendi. Ketika Wasi Dwapara mengangkat kendi tersebut dan meneguk isinya, tiba-tiba mulutnya terasa panas dan bibirnya melepuh hingga robek menganga. Seketika Wasi Dwapara pun berubah menjadi buruk rupa.
Kini tiba giliran Bambang Satrukem untuk meminum air Kamandalu Matula. Prabu Drumanasa berusaha mengganggu pikirannya dengan mengatakan sungguh sayang apabila Bambang Satrukem yang tampan itu harus robek mulutnya seperti sang paman. Namun, Bambang Satrukem tetap tenang dan mengambil kendi tersebut dengan perasaan ikhlas apa pun yang akan terjadi. Perlahan-lahan ia meneguk isi kendi tersebut sampai habis. Anehnya, Bambang Satrukem tidak mengalami celaka, justru tubuhnya terasa lebih sehat dan segar bugar.
Wasi Dwapara marah merasa sayembara ini hanyalah akal-akalan belaka. Ia lalu memberi isyarat kepada Prabu Drumanasa untuk bersama-sama mengeroyok Bambang Satrukem. Melihat itu, Janggan Smara segera turun tangan membantu. Mula-mula Prabu Drumanasa dapat dilemparkan sejauh-jauhnya dari Gunung Pujangkara. Wasi Dwapara yang masih bertahan akhirnya tidak kuat juga setelah Janggan Smara mengerahkan kentut saktinya. Ia pun melarikan diri meninggalkan gunung tersebut.
Demikianlah, Bambang Satrukem lalu memboyong Dewi Nilawati untuk menikah di Gunung Saptaarga.
WASI DWAPARA MENJADI MENANTU ARYA PARIDARMA
Sementara itu, Wasi Dwapara yang melarikan diri dari Gunung Pujangkara bertemu Arya Paridarma di tengah jalan. Saat itu Arya Paridarma sedang menuju ke Gunung Saptaarga untuk menghadap Resi Manumanasa (kakaknya) demi mendapatkan obat bagi putrinya yang menderita sakit lumpuh, bernama Dewi Maestri.
Wasi Dwapara pun memperkenalkan diri sebagai putra Dewi Kaniraras dari perkawinan kedua dengan Prabu Durapati raja Duhyapura. Arya Paridarma pun bersyukur bisa bertemu dengan keponakannya. Wasi Dwapara lalu menawarkan diri untuk mengobati Dewi Maestri karena selama ini ia telah berguru banyak ilmu kepada Resi Manumanasa. Arya Paridarma agak ragu tapi akhirnya menerima tawaran Wasi Dwapara tersebut.
Sesampainya di Pedukuhan Gandara, Arya Paridarma segera mempersilakan Wasi Dwapara untuk mengobati putrinya. Saat itu Dewi Maestri sedang tidur di pangkuan ibunya, yaitu Dewi Subahni, dan kakinya dipijat oleh adiknya yang bernama Dewi Huti. Tampak hadir pula Resi Manonbawa (kakak Arya Paridarma) beserta istrinya, yaitu Dewi Suwedi (kakak Dewi Subahni).
Wasi Dwapara lalu meminta Arya Paridarma menyediakan sebuah mentimun dan seekor lalat. Setelah tersedia, Wasi Dwapara memasukkan lalat tersebut ke dalam mentimun dan membacakan japa mantra. Mentimun itu lalu disuapkan kepada Dewi Maestri. Sungguh ajaib, Dewi Maestri pun sembuh dari sakitnya dan dapat berjalan kembali seperti sedia kala.
Arya Paridarma, Resi Manonbawa, dan yang lain sangat kagum bercampur gembira menyaksikan keberhasilan Wasi Dwapara. Sebagai ungkapan terima kasih, Arya Paridarma pun mengambil Wasi Dwapara sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan Dewi Maestri. Wasi Dwapara dan Dewi Maestri pun menurut dan menerima perjodohan tersebut.
Resi Manonbawa juga ikut berbahagia. Untuk semakin mempererat persaudaraan, ia pun melamar adik Dewi Maestri, yaitu Dewi Huti untuk dinikahkan dengan putra sulungnya yang bernama Bambang Maneriya. Arya Paridarma sangat senang menerima lamaran kakaknya tersebut, lalu ia pun mengirim kabar bahagia ini kepada Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga.
Wasi Dwapara dan Bambang Satrukem |
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih jika anda mau untuk meninggalkan jejak anda dengan berkomentar di blog ini.