Tampilkan postingan dengan label Cerita Wayang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Wayang. Tampilkan semua postingan

Cerita Wayang Abyasa Lahir


Resi Parasara

BEGAWAN RUKMAWATI MUKSA

Resi Parasara di Gunung Saptaarga sedang bersamadi ketika ia tiba-tiba didatangi leluhurnya, yaitu Prabu Parikenan yang telah menjadi dewa bergelar Batara Brahma-am. Dalam pertemuan itu, Batara Brahma-am memerintahkan Resi Parasara untuk berguru kepada seorang bidadari petapa di Gunung Mahendra yang bernama Begawan Rukmawati. Batara Brahma-am menceritakan bahwa dirinya sejak kecil bersama sang adik, yaitu Dewi Srini, telah diasuh dan dibesarkan oleh Begawan Rukmawati tersebut bagaikan anak sendiri.

Setelah Batara Brahma-am kembali ke kahyangan, Resi Parasara pun berangkat menuju Gunung Mahendra dengan didampingi panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Sesampainya di sana mereka disambut oleh Begawan Rukmawati yang memiliki penglihatan tajam dan langsung mengetahui jati diri Resi Parasara.

Dahulu kala Begawan Rukmawati sering menjadi tumpuan pertanyaan jika para raja mendapatkan masalah. Seiring berkembangnya zaman, nama Begawan Rukmawati dan Gunung Mahendra semakin dilupakan orang. Tak disangka, tiba-tiba saja muncul Resi Parasara yang ingin berguru menimba ilmu kepadanya.

Begawan Rukmawati pun mengajarkan segala kepandaiannya kepada Resi Parasara sampai akhirnya sang murid dinyatakan lulus. Di lain pihak, Resi Parasara sedang terpesona melihat kecantikan gurunya yang seorang bidadari itu. Resi Parasara telah berusia empat puluh tahun, namun baru kali ini ia merasa tertarik kepada seorang wanita. Dengan penuh rasa malu, ia pun memberanikan diri mengutarakan perasaannya kepada Begawan Rukmawati.

Begawan Rukmawati tidak dapat menerima cinta Resi Parasara karena tiga hal. Pertama, karena Resi Parasara adalah muridnya. Kedua, karena Resi Parasara adalah keturunan Prabu Parikenan yang tidak lain adalah anak angkatnya sendiri. Ketiga, karena Begawan Rukmawati merasa sudah saatnya ia mencapai muksa, bersatu dengan semesta.

Resi Parasara merasa kecewa bercampur malu. Namun, Begawan Rukmawati menghibur, bahwa tidak lama lagi Resi Parasara akan berjodoh dengan seorang wanita yang mirip dengannya. Setelah berpesan demikian, Begawan Rukmawati pun dijemput kereta emas yang turun dari angkasa. Ia lalu menaiki kereta tersebut dan kemudian musnah dari pandangan Resi Parasara.

RESI PARASARA MEMBASMI SERANGAN HAMA

Tidak lama kemudian, Resi Parasara menerima kedatangan seorang pendeta bernama Resi Indradewa dari Padepokan Bimarastana. Resi Indradewa bercerita bahwa ladang dekat pertapaannya sering diserang hama. Ia sudah mengusahakan berbagai macam cara namun hama yang menyerang justru semakin bertambah banyak.

Atas petunjuk dewa, Resi Indradewa harus meminta bantuan kepada Resi Parasara yang saat ini berada di Gunung Mahendra. Menanggapi permintaan tersebut, Resi Parasara segera bersiul memanggil sahabatnya, yaitu Gandarwaraja Swala. Dalam sekejap mata, sang raja makhluk halus pun hadir di hadapannya.

Gandarwaraja Swala lalu menggendong Resi Parasara, Resi Indradewa, serta panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong terbang menuju Padepokan Bimarastana. Dalam waktu sekejap mereka pun tiba di sana. Resi Parasara langsung bersamadi mengheningkan cipta untuk menghalau hama yang menyerang ladang milik Resi Indradewa. Ada berbagai macam jenis hama yang menyerang. Mulai dari wereng, tikus, sampai babi hutan. Satu persatu mereka lumpuh dan berjatuhan di tanah terkena daya gaib mantra Resi Parasara.

Tiba-tiba muncul seorang pendeta yang mengaku bahwa dirinyalah yang mengirim kawanan hama tersebut. Pendeta itu bernama Resi Puruhita yang langsung menyerang Resi Parasara. Terjadilah pertarungan di antara mereka yang berakhir dengan kekalahan Resi Puruhita.

Resi Parasara lalu menanyakan apa alasan Resi Puruhita mengirim kawanan hama ke ladang milik Resi Indradewa. Resi Puruhita menjawab bahwa ladang tersebut dulunya bernama Setra Pitara, yaitu kuburan milik para leluhurnya. Mendengar itu, Resi Indradewa segera meminta maaf karena ia tidak tahu kalau tanah lapang yang telah diubahnya menjadi ladang tersebut adalah bekas kuburan leluhur Resi Puruhita.

Kini semua permasalahan telah jelas. Resi Parasara lalu mengheningkan cipta mendatangkan arwah para leluhur Resi Puruhita. Mereka pun hadir dan meminta Resi Puruhita untuk meredam amarahnya. Para leluhur itu menjelaskan bahwa tempat mereka kini adalah di alam baka, sedangkan jasad mereka yang sudah lama terpendam di tanah kini telah musnah terurai dan bersatu kembali dengan alam semesta. Asalnya tiada, kembali tiada. Untuk itu, Resi Puruhita diminta untuk tidak mempermasalahkan jika Resi Indradewa melanjutkan kegiatan berladang, karena tanah lapang Setra Pitara akan lebih bermanfaat bagi masyarakat jika digunakan sebagai lahan pertanian. Setelah berpesan demikian, arwah para leluhur itu pun musnah kembali ke alam baka.

Resi Puruhita merasa lega mendengarkan penjelasan dari para leluhurnya. Ia pun menyatakan rela jika Resi Indradewa melanjutkan kegiatan berladang di bekas kuburan tersebut dan berjanji tidak akan mengirimkan hama lagi. Ia juga berterima kasih kepada Resi Parasara yang telah menengahi permasalahan ini dengan bijaksana.

RESI PARASARA MENIKAH DENGAN DEWI WATARI

Setelah Resi Puruhita meninggalkan Setra Pitara, Resi Indradewa berterima kasih atas segala bantuan Resi Parasara. Sebagai ungkapan syukurnya, ia pun menyerahkan putrinya yang bernama Dewi Watari supaya menjadi istri Resi Parasara.

Resi Parasara sudah berusia empat puluh tahun tetapi belum berumah tangga, tentunya hal ini kurang baik menurut pandangan masyarakat. Karena terus-menerus dibujuk, Resi Parasara tidak dapat menolak lagi. Ia pun menerima perjodohan tersebut dan menikahi Dewi Watari di Padepokan Bimarastana.

Akan tetapi, Resi Parasara selalu terbayang-bayang wajah Begawan Rukmawati. Malam harinya, ia pun mengajak para panakawan pergi meninggalkan Padepokan Bimarastana secara diam-diam karena tidak mau berumah tangga dengan Dewi Watari tanpa dilandasi rasa cinta.

RESI PARASARA BERTAPA DI HUTAN PAREWANA

Sesampainya di Hutan Parewana, Resi Parasara bersamadi mengheningkan cipta. Ia bertekad tidak akan menikah jika tidak dengan perempuan yang berwajah mirip Begawan Rukmawati.

Berhari-hari lamanya Resi Parasara bertapa tanpa makan dan minum, hingga pada suatu ketika di atas kepalanya hinggap dua ekor burung pipit sejodoh. Kedua burung tersebut tidak hanya hinggap, tetapi juga bersarang di atas kepala Resi Parasara. Hari demi hari berlalu, si burung betina pun bertelur tiga butir hingga akhirnya menetas semua.

Akan tetapi, burung jantan dan burung betina itu tidak mau merawat dan memberi makan ketiga anak mereka. Resi Parasara terbangun dari samadinya dan berusaha memanggil si burung jantan dan betina agar kembali ke sarang mereka. Namun, sepasang induk burung tersebut justru terbang menjauh, membuat Resi Parasara semakin kesal dan bergegas mengejar sambil memegang sarang berisi ketiga anak mereka.

RESI PARASARA BERTEMU DEWI DURGANDINI

Sepasang induk burung pipit itu hinggap dari pohon satu ke pohon lainnya, seolah mereka ingin bermain kejar-kejaran dengan Resi Parasara. Tak terasa, pengejaran Resi Parasara terhalang oleh Sungai Jamuna, sedangkan sepasang induk burung tersebut telah berada di seberang sana.

Pada saat itulah Resi Parasara melihat seorang tukang perahu berwajah cantik namun berbau amis mendekati dirinya. Tukang perahu itu mengaku bernama Rara Amis yang menawarkan diri untuk menyeberangkan Sang Resi. Resi Parasara terkesima karena wajah tukang perahu ini sama persis dengan Begawan Rukmawati yang dicintainya. Tanpa banyak bertanya lagi, ia pun naik ke atas perahu dan meminta diseberangkan untuk mengejar sepasang induk burung tadi.

Tiba-tiba sepasang induk burung yang hinggap di pohon seberang sungai musnah entah ke mana, begitu pula ketiga anak burung yang ada di tangan Resi Parasara juga ikut lenyap. Sesampainya di seberang, Resi Parasara mengurungkan niatnya untuk turun dan meminta supaya diantarkan menyusuri Sungai Jamuna saja. Rara Amis menurut dan menjalankan perahu sesuai permintaan Sang Resi.

Resi Parasara sama sekali tidak jijik terhadap bau badan Rara Amis, tetapi justru merasa iba. Ia pun menawarkan diri untuk mengobati penyakit gadis itu. Rara Amis mengiakan dengan penuh pengharapan. Resi Parasara lalu mengusapkan rimpang kunyit ke sekujur tubuh Rara Amis sambil membaca mantra Muskala. Berangsur-angsur penyakit Rara Amis rontok dan berubah menjadi semacam lumpur yang kemudian dilemparkan ke dalam sungai oleh Resi Parasara.

Sementara itu, sepasang induk burung pipit dan ketiga anaknya yang telah musnah tadi berubah wujud menjadi Batara Guru, Batara Narada, serta Batari Warsiki, Batari Gagarmayang, dan Batari Tunjungbiru. Mereka berlima sengaja menjelma menjadi burung pipit sekeluarga untuk mempertemukan Resi Parasara dengan Dewi Durgandini (Rara Amis) karena mereka ditakdirkan berjodoh dan menurunkan seorang putra yang kelak menjadi pendeta agung di Tanah Jawa.

LAHIRNYA RADEN ABYASA

Rara Amis kini telah sembuh dari penyakitnya dan ia sangat berterima kasih kepada Resi Parasara. Di lain pihak, Resi Parasara tergetar hatinya saat mengusapkan kunyit ke sekujur tubuh Rara Amis. Ia pun berterus terang telah jatuh cinta kepada gadis itu. Sebaliknya, Rara Amis juga merasa jatuh hati kepada penolongnya tersebut. Meskipun Resi Parasara sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, tetapi wajahnya sangat tampan dan juga awet muda karena tekun bertapa setiap waktu.

Pada saat itu perahu yang mereka tumpangi berlabuh di sebuah pulau kecil yang terletak di tengah Sungai Jamuna. Resi Parasara dan Rara Amis pun mendarat di pulau tersebut. Mereka sama-sama tak kuasa menahan nafsu birahi sehingga melakukan hubungan badan di sana. Sebelumnya, Resi Parasara sempat menciptakan semacam kabut tebal untuk menutupi apa yang mereka lakukan berdua.

Tiba-tiba ada petir menggelegar menyambar perahu milik Rara Amis yang ditambatkan di tepi pulau tadi hingga pecah menjadi dua. Resi Parasara dan Rara Amis terkejut dan merasa bersalah karena petir ini pasti teguran dari dewata atas perzinahan yang telah mereka lakukan. Rara Amis pun berterus terang bahwa dirinya memiliki nama asli Dewi Durgandini, putri Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata. Resi Parasara menyesal karena terlalu menuruti hawa nafsu sehingga lupa bertanya tentang asal-usul Rara Amis. Seharusnya ia bertanya lebih dulu siapa orang tua gadis itu, sehingga bisa mengajukan lamaran secara resmi kepada Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata, bukannya berzinah seperti ini. Sebaliknya, Dewi Durgandini juga merasa bersalah karena tidak berterus terang sejak awal kepada Resi Parasara tentang jati dirinya.

Kini, Dewi Durgandini telah mengandung anak Resi Parasara. Sembilan bulan setelah peristiwa itu, ia melahirkan seorang bayi berkulit hitam legam, namun memiliki ari-ari berwarna putih bersih. Resi Parasara teringat kepada Brahmana Wyasa yang dulu menyatu ke dalam dirinya dan berniat akan terlahir kembali sebagai anaknya. Maka, Resi Parasara pun memberi nama mirip Brahmana Wyasa untuk putranya yang baru lahir tersebut, yaitu Raden Abyasa. Sementara itu, Dewi Durgandini juga memberikan nama Raden Kresna Dwipayana, karena bayinya itu berkulit hitam dan dilahirkan di tengah pulau.

Ketika Resi Parasara hendak menanam ari-ari Raden Abyasa, tiba-tiba benda itu berubah menjadi seorang bayi berkulit putih bersih. Resi Parasara pun mengakuinya sebagai anak nomor dua dan memberinya nama Raden Setatama.

RESI PARASARA MENDAPATKAN TUJUH ANAK

Tidak lama kemudian datanglah Resi Indradewa dan Endang Watari sambil menggendong lima bayi. Resi Indradewa menggendong tiga bayi laki-laki, sedangkan Dewi Watari menggendong satu bayi perempuan dan satu bayi laki-laki. Resi Parasara dan Dewi Durgandini pun menyambut kedatangan mereka dengan senang hati sekaligus heran melihat kelima bayi yang mereka bawa itu.

Resi Indradewa pun bercerita bahwa pada suatu hari Batara Narada datang ke Padepokan Bimarastana membawa lima macam benda, yaitu rimpang kunyit, dayung, dan perahu yang telah pecah menjadi dua, serta segumpal lumpur. Batara Narada lalu mengubah kelima benda tersebut menjadi bayi supaya diasuh Dewi Watari sebagai anak-anak Resi Parasara.

Yang pertama kali diubah menjadi bayi perempuan adalah rimpang kunyit, yaitu benda yang dipakai Resi Parasara untuk mengobati Dewi Durgandini. Batara Narada pun memberinya nama Dewi Sudaksina.

Benda kedua yang diubah menjadi bayi adalah dayung milik Dewi Durgandini. Batara Narada memberinya nama Raden Bimakinca.

Selanjutnya, yang diubah adalah perahu yang terbelah menjadi dua, yaitu perahu milik Dewi Durgandini yang tersambar petir saat ditambatkan di tepi pulau tengah sungai. Kedua belahan perahu tersebut berubah menjadi sepasang bayi kembar, yang diberi nama Raden Kincaka dan Raden Rupakinca.

Yang terakhir diubah menjadi bayi adalah gumpalan lumpur penjelmaan penyakit Dewi Durgandini. Bayi yang terakhir ini memiliki taring seperti raksasa, diberi nama Raden Rajamala.

Batara Narada lalu menyerahkan kelima bayi tersebut kepada Resi Indradewa dan Dewi Watari dan menjelaskan di mana Resi Parasara saat ini berada. Setelah dirasa cukup, ia pun undur diri kembali ke kahyangan.

Demikianlah, Resi Indradewa menceritakan asal-usul kelima bayi tersebut kepada Resi Parasara dan Dewi Durgandini. Resi Parasara terkesan mendengarnya dan menerima mereka semua sebagai anak. Jika ditambah dengan Raden Abyasa dan Raden Setatama, maka jumlah anak Resi Parasara sekarang menjadi tujuh orang.

DEWI DURGANDINI DIJEMPUT RADEN DURGANDANA

Tidak lama kemudian datang pula Raden Durgandana dan Kyai Dasa di pulau tersebut dan mereka sangat gembira melihat Dewi Durgandini telah sembuh dari penyakitnya. Raden Durgandana berkata bahwa  ayah mereka, yaitu Prabu Wasupati beberapa hari yang lalu mendapatkan petunjuk dewata bahwa Dewi Durgandini telah sembuh dari penyakitnya. Prabu Wasupati pun mengutus Raden Durgandana untuk menjemput Dewi Durgandini pulang ke Kerajaan Wirata. Akan tetapi, sungguh mengejutkan karena Dewi Durgandini mengaku telah memiliki anak dari hasil perzinahan dengan Resi Parasara.

Raden Durgandana marah menuduh Resi Parasara sebagai pendeta berbudi rendah yang telah merusak kesucian kakaknya. Ia pun menyerang Resi Parasara untuk melampiaskan kekesalan. Resi Parasara terpaksa menghadapi serangan Raden Durgandana untuk membela diri. Setelah bertarung agak lama, Resi Parasara akhirnya berhasil meringkus Raden Durgandana.

Meskipun telah kalah, Raden Durgandana tetap memaki Resi Parasara sebagai pendeta tak berbudi meskipun memiliki ilmu setinggi langit. Mendengar itu, Resi Parasara tidak melawan lagi karena ia menyadari kesalahannya yang terlalu menuruti hawa nafsu. Ia pun melepaskan Raden Durgandana dan meminta maaf kepada pengeran dari Wirata tersebut.

Resi Parasara lalu mengheningkan cipta mengerahkan kesaktiannya sehingga membuat Dewi Durgandini kembali menjadi perawan seperti sedia kala. Setelah itu, ia lalu mengajak Resi Indradewa dan Dewi Watari kembali ke Padepokan Bimarastana sambil membawa ketujuh bayinya.

DEWI DURGANDINI MELANJUTKAN TAPA NGRAME

Sepeninggal mereka, Raden Durgandana mengajak Dewi Durgandini pulang ke Kerajaan Wirata. Akan tetapi, Dewi Durgandini menyatakan tidak bersedia pulang karena ia merasa telah berdosa besar menuruti hawa nafsu dan mencemarkan nama baik Prabu Wasupati. Untuk itu, ia mengaku ingin melanjutkan tapa ngrame menjadi tukang perahu di Sungai Jamuna sebagai penebus dosa.

Raden Durgandana berusaha membujuk kakaknya untuk ikut pulang ke Wirata, namun tidak berhasil. Ia lalu meminta Kyai Dasa membuatkan sebuah perahu baru yang kemudian diberikannya kepada Dewi Durgandini sebagai sarana melakukan tapa ngrame. Setelah dirasa cukup, Raden Durgandana mohon pamit dan menitipkan Dewi Durgandini kepada Kyai Dasa seperti waktu-waktu sebelumnya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------











Cerita Wayang - Perang Gojalisuta




Perang antara Prabu Boma dan PrabuKresna,
------------------------------ ooo ------------------------------


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap para putra, yaitu Raden Partajumena dan Raden Setyaka, serta senapati Arya Setyaki dan juga Patih Udawa. Mereka membahas tentang putra mahkota Raden Samba Wisnubrata yang sudah satu bulan ini menghilang dari Kesatrian Paranggaruda. Padahal, istri Raden Samba, yaitu Dewi Sugatawati sedang hamil tua dan mungkin sebentar lagi akan melahirkan.

Menurut perkiraan Prabu Kresna, kemungkinan besar Raden Samba menginap di tempat kakak kandungnya, yaitu Resi Gunadewa di Astana Gandamadana. Maka, Prabu Kresna memerintahkan Arya Setyaki untuk menjemput pulang Raden Samba agar menunggui Dewi Sugatawati yang hendak melahirkan.

Putra bungsu Prabu Kresna, yaitu Raden Setyaka berkata bahwa dirinya tadi malam bermimpi melihat Raden Samba naik perahu berdua dengan Dewi Agnyanawati, istri Prabu Boma Narakasura. Mereka berdua dalam satu perahu yang dihempas badai dan tenggelam ditelan lautan. Raden Setyaka sangat takut membayangkan mimpinya itu dan kini memberanikan diri untuk bercerita kepada sang ayah.

Prabu Kresna termenung sejenak. Ia teringat saat upacara pernikahan Prabu Boma dengan Dewi Agnyanawati telah terjadi kesalahan, yaitu si pengantin wanita justru menyembah kepada Raden Samba. Apakah peristiwa itu akan berlanjut sebagaimana mimpi Raden Setyaka? Berpikir demikian, Prabu Kresna pun memerintahkan Arya Setyaki agar segera berangkat melaksanakan tugas. Arya Setyaki mohon pamit, dan Prabu Kresna lalu membubarkan pertemuan.

RADEN SAMBA NEKAT PERGI MENEMUI DEWI AGNYANAWATI

Sesuai dugaan Prabu Kresna, ternyata Raden Samba memang berada di Astana Gandamadana menghadap Resi Gunadewa. Sejak peristiwa perkawinan Prabu Boma dan Dewi Agnyanawati, Raden Samba selalu terbayang-bayang wajah kakak iparnya itu. Apalagi waktu upacara pengantin, Dewi Agnayanwati salah menyembah kepada dirinya, bukan menyembah Prabu Boma. Peristiwa itu membuat Raden Samba terkenang setiap hari dan merasa menyesal, mengapa bukan dirinya yang menikah dengan Dewi Agnyanawati.

Resi Gunadewa menasihati adiknya itu agar melupakan Dewi Agnyanawati karena sekarang sudah menjadi kakak ipar mereka. Apalagi Raden Samba sudah memiliki istri, yaitu Dewi Sugatawati yang sekarang ini sedang mengandung, siap untuk melahirkan sebentar lagi. Raden Samba menjawab, apa salahnya laki-laki memiliki istri lebih dari satu? Bukankah ayah mereka, yaitu Prabu Kresna juga memiliki banyak istri? Resi Gunadewa menjawab, memang benar ayah mereka memiliki banyak istri, namun tidak pernah merebut istri orang lain.

Raden Samba tersinggung mendengar nasihat Resi Gunadewa. Selama ini ia merasa nyaman bersama kakak kandungnya tersebut yang dianggap sebagai satu-satunya tempat untuk mencurahkan isi hati. Namun, ternyata Resi Gunadewa tidak mendukung keinginannya. Raden Samba merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di Astana Gandamadana. Ia pun mohon pamit menuju Kerajaan Trajutresna untuk menemui pujaan hatinya, Dewi Agnayanawati.

DITYA YAYAHGRIWA DITUGASI MENGGUSUR ASTANA GANDAMADANA

Di Kerajaan Trajutresna, Patih Pancadnyana dihadap para punggawa raksasa, yaitu Ditya Yayahgriwa, Ditya Ancakogra, Ditya Mahodara, dan Ditya Amisunda. Mereka membicarakan tentang masalah rumah tangga sang raja, yaitu Prabu Boma Narakasura. Sejak menikah beberapa bulan yang lalu, Dewi Agnyanawati tidak pernah bersedia melayani Prabu Boma. Pernah sekali Dewi Agnyanawati meminta syarat untuk dimadu dengan Dewi Mustikawati dari Gunung Cakrawala. Prabu Boma Narakasura pun berangkat untuk meminang putri tersebut, namun kalah bersaing melawan Bambang Wisanggeni putra Raden Arjuna.

Prabu Boma kemudian meminta Dewi Agnyanawati agar mengajukan syarat yang lain saja. Ia tidak bersedia jika harus menikah dengan wanita lain karena yang ia cintai hanyalah Dewi Agnyanawati seorang. Dewi Agnyanawati akhirnya mengajukan syarat bahwa ia bersedia melayani Prabu Boma apabila dibuatkan jalan lurus tanpa belok yang menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan tanah airnya, yaitu Kerajaan Giyantipura. Dewi Agnyanawati sebagai anak tunggal Prabu Krentagnyana mengaku ingin setiap saat bisa mengunjungi ayah dan ibunya secara cepat dan lancar, melalui jalan yang lurus tanpa belok sama sekali.

Prabu Boma bimbang menghadapi syarat ini karena jalan lurus tanpa belok yang menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan Kerajaan Giyantipura akan menembus Astana Gandamadana, tempat para leluhur Kerajaan Mandura, Dwarawati, Kumbina, dan Lesanpura dicandikan. Prabu Boma pun pergi ke tempat ibunya, yaitu Batari Pretiwi untuk meminta saran atas hal ini, dan menitipkan urusan Kerajaan Trajutresna kepada Patih Pancadnyana.

Patih Pancadnyana yakin Batari Pretiwi pasti merestui Prabu Boma menggusur Astana Gandamadana, dengan alasan lebih baik mengorbankan yang sudah mati untuk kepentingan yang masih hidup. Maka, ia pun memerintahkan para punggawa untuk memulai pembangunan jalan lurus tersebut. Ditya Mahodara bertanya apakah tidak sebaiknya menunggu kepulangan Prabu Boma terlebih dulu, dan apabila berangkat sekarang apakah tidak melangkahi keputusan raja?

Patih Pancadnyana menjawab dirinya sudah hafal watak Prabu Boma. Ia yakin Prabu Boma pasti bersedia melakukan apa saja demi Dewi Agnyanawati, asalkan tidak disuruh menikah lagi dengan wanita lain. Karena Patih Pancadnyana sudah mendapatkan mandat untuk menangani urusan Kerajaan Trajutresna, maka ia pun memerintahkan Ditya Yayahgriwa untuk pergi ke Astana Gandamadana, berunding dengan Resi Gunadewa agar memindahkan candi para leluhur di sana. Ditya Yayahgriwa mohon pamit ditemani Ditya Amisunda dan Ditya Mahodara. Patih Pancadnyana lalu mengajak Ditya Ancakogra untuk memulai persiapan membangun jalan lurus dari Kerajaan Trajutresna menuju Kerajaan Giyantipura.

Singkat cerita, Ditya Yayahgriwa dan rombongan sudah sampai di Astana Gandamadana. Mereka disambut Resi Gunadewa yang baru saja ditinggal pergi Raden Samba. Ditya Yayahgriwa lalu menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk menggusur Astana Gandamadana karena akan dibangun jalan lurus yang menghubungkan antara Kerajaan Trajutresna dan Kerajaan Giyantipura. Resi Gunadewa tidak terima karena Astana Gandamadana adalah tempat para leluhur dicandikan, antara lain Prabu Kuntiboja dan Prabu Basudewa beserta para istri masing-masing. Lagipula Resi Gunadewa hanyalah juru kunci astana. Ia tidak berani mengabulkan permintaan Ditya Yayahgriwa tanpa seizin Prabu Baladewa, karena Astana Gandamadana masuk wilayah Kerajaan Mandura.

Ditya Yayahgriwa tidak peduli. Ia berkata dirinya tidak sudi pulang ke Kerajaan Trajutresna dengan tangan hampa. Ia pun memaksa Resi Gunadewa menandatangani nota kesepakatan bahwa Astana Gandamadana harus digusur demi pembangunan jalan lurus tersebut. Resi Gunadewa menolak dan mengatakan dirinya lebih baik mati daripada dipaksa mematuhi kesepakatan ini.

Ditya Yayahgriwa mengabulkan perkataan Resi Gunadewa. Ia lantas menghantam kepala resi muda itu menggunakan gada di tangannya. Resi Gunadewa pun tewas seketika dengan kepala remuk.

PASUKAN MANDURA BERTEMPUR MELAWAN PASUKAN TRAJUTRESNA

Raden Wisata putra mahkota Kerajaan Mandura sedang meronda keamanan bersama Patih Pragota dan Arya Prabawa. Mereka heran melihat ada banyak raksasa berkeliaran di dekat Astana Gandamadana. Raden Wisata bertanya siapa pemimpin mereka. Ditya Yayahgriwa berkata bahwa Astana Gandamadana akan digusur untuk kepentingan pembangunan jalan lurus yang menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan Kerajaan Giyantipura. Barangsiapa menghalangi akan dibunuh, termasuk Resi Gunadewa yang sudah mati dengan kepala pecah.

Raden Wisata marah mendengar sepupunya tewas. Ia pun mengerahkan pasukan Mandura untuk mengusir para raksasa tersebut. Ditya Yayahgriwa dan pasukan Trajutresna menghadapi mereka. Pertempuran terjadi. Ditya Yayahgriwa mengincar Raden Wisata selaku pemimpin pasukan Mandura. Dalam pertarungan itu, Raden Wisata lengah dan lehernya putus digigit Ditya Yayahgriwa. Melihat sang pangeran terbunuh, pasukan Mandura pun kocar-kacir kehilangan mental.

Pada saat itulah Arya Setyaki datang. Ia mengeluarkan Gada Wesikuning dan bergerak lincah menyerang Ditya Yayahgriwa. Dalam pertempuran itu, Ditya Yayahgriwa tewas kepalanya remuk terkena pukulan gada Arya Setyaki.

Arya Setyaki lalu menghentikan pertempuran. Ia mengatakan urusan ini biar diselesaikan antara para raja tiga negara, yaitu Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Prabu Boma, karena sudah jatuh korban jiwa dari masing-masing pihak. Semuanya pun setuju. Ditya Mahodara dan Ditya Amisunda menggotong mayat Ditya Yayahgriwa dan membawa pasukannya kembali ke Kerajaan Trajutresna; Arya Setyaki membawa jasad Resi Gunadewa ke Kerajaan Dwarawati, sedangkan Patih Pragota dan Arya Prabawa membawa jasad Raden Wisata ke Kerajaan Mandura.

RADEN SAMBA BERTEMU RADEN ARJUNA DAN ARYA GATUTKACA

Sementara itu, Raden Samba sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Trajutresna. Di tengah jalan ia berjumpa Raden Arjuna dan Arya Gatutkaca yang sedang dalam perjalanan ke Kerajaan Dwarawati karena ada kabar bahwa Dewi Sugatawati hendak melahirkan. Raden Arjuna bertanya ada keperluan apa Raden Samba hendak pergi ke Kerajaan Trajutresna. Raden Samba dengan malu-malu menjawab bahwa ia hendak menemui Dewi Agnyanawati karena jatuh cinta kepada kakak iparnya tersebut.

Raden Arjuna marah karena Dewi Sugatawati hamil tua hendak melahirkan, tapi justru Raden Samba pergi menemui wanita lain. Raden Samba menjawab, dirinya ingin menjemput Dewi Agnyanawati untuk hidup berkumpul dengan Dewi Sugatawati. Raden Arjuna semakin marah tidak rela putrinya dimadu dengan wanita lain, apalagi wanita ini sudah punya suami. Raden Samba menjawab, cinta harus diperjuangkan apa pun rintangannya. Bukankah dulu Raden Arjuna sudah menikah dengan Dewi Sumbadra, juga menikahi Dewi Srikandi serta banyak wanita lainnya? Raden Samba pun bersumpah, apabila berhasil menikahi Dewi Agnyanawati, maka ia tidak akan mengurangi kasih sayangnya kepada Dewi Sugatawati. Untuk itu, ia memohon restu dan bantuan kepada Raden Arjuna.

Raden Arjuna tersentuh hatinya. Ia menyadari bahwa dirinya pun memiliki banyak istri, sehingga tidak bisa menyalahkan Raden Samba apabila ingin menikah lagi. Ia pun berkata bahwa dirinya tidak merestui perbuatan Raden Samba yang hendak merebut istri Prabu Boma, namun ia bersedia membantu mencarikan jalan saja. Raden Arjuna lalu membisikkan mantra Aji Panglimunan kepada Raden Samba agar dapat menyusup masuk ke dalam istana Trajutresna tanpa ketahuan. Arya Gatutkaca juga diperintahkan untuk mengantarkan Raden Samba agar perjalanannya lebih cepat.

Demikianlah, Raden Samba berhasil menghafalkan mantra Aji Panglimunan, lalu ia digendong Arya Gatutkaca terbang menuju Kerajaan Trajutresna. Adapun Raden Arjuna beserta para panakawan melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati untuk menjenguk putrinya, yaitu Dewi Sugatawati.

RADEN SAMBA MENEMUI DEWI AGNYANAWATI

Arya Gatutkaca terbang secepat kilat dan menurunkan Raden Samba di dekat Kerajaan Trajutresna. Raden Samba berterima kasih, lalu membaca mantra Aji Panglimunan yang telah diajarkan Raden Arjuna tadi. Seketika wujudnya menghilang dan ia pun leluasa masuk ke dalam istana untuk menemui Dewi Agnyanawati.

Dewi Agnyanawati yang sedang melamun sendiri di puri terkejut melihat Raden Samba tiba-tiba muncul di hadapannya. Raden Samba yang sudah meluap rindunya segera merayu wanita pujaannya itu dengan kata-kata manis. Dewi Agnyanawati sendiri pada dasarnya juga jatuh cinta kepada adik iparnya itu sejak pandangan pertama. Mereka pun saling melepas rindu yang terpendam di hati masing-masing. Raden Samba lalu menggendong Dewi Agnyanawati yang meronta-ronta genit, dan keduanya pun memuaskan hasrat birahi di dalam kamar tidur.

Perbuatan Dewi Agnyanawati dan Raden Samba terdengar oleh para dayang. Mereka pun pergi melapor kepada Patih Pancadnyana. Mendengar laporan ini, Patih Pancadnyana segera membawa pasukan raksasa mengepung puri tempat tinggal Dewi Agnyanawati. Raden Samba gugup dan gemetar sehingga lupa bacaan mantra Aji Panglimunan yang bisa membuatnya tidak terlihat. Tidak lama kemudian, Patih Pancadnyana dan para prajurit sudah datang hendak menangkap dirinya.

Patih Pancadnyana menyebut Raden Samba pangeran tidak tahu diri, berani menggoda kakak iparnya sendiri. Raden Samba berteriak minta tolong ketika hendak diseret oleh Patih Pancadnyana. Suara teriakannya terdengar oleh Arya Gatutkaca yang masih menunggu di luar istana. Arya Gatutkaca pun melesat terbang lalu menerjang turun untuk menolong Raden Samba. Patih Pancadnyana ditendangnya hingga jatuh terjungkal. Sejumlah prajurit raksasa pun tewas oleh amukan Arya Gatutkaca. Namun, Arya Gatutkaca tidak mau memperpanjang masalah. Ia mengajak Raden Samba untuk segera pulang ke Kerajaan Dwarawati. Dewi Agnyanawati ingin ikut serta karena ia merasa dirinya sudah menjadi milik Raden Samba. Raden Samba juga tidak mau pulang apabila tidak bersama kekasihnya tersebut. Arya Gatutkaca terpaksa menggendong mereka berdua dan melesat terbang ke angkasa meninggalkan Patih Pancadnyana yang memanggil bala bantuan.

PRABU BOMA MENDAPAT NASIHAT DARI IBUNYA

Sementara itu, Prabu Boma Narakasura berada di Kahyangan Ekapratala menghadap ibu kandungnya, yaitu Batari Pretiwi. Kedatangannya adalah untuk meminta petunjuk apakah dirinya harus mengabulkan keinginan Dewi Agnyanawati atau tidak. Karena, apabila jalan lurus benar-benar dibangun menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan Kerajaan Giyantipura, maka akan menerobos Astana Gandamadana, tempat para leluhur dicandikan.

Batari Pretiwi mengheningkan cipta sejenak, lalu berkata bahwa Prabu Boma tidak perlu memusingkan permintaan Dewi Agnyanawati tersebut. Apa gunanya menikah dengan wanita yang tidak mencintai suaminya dengan sepenuh hati? Permintaan Dewi Agnyanawati untuk dibuatkan jalan lurus hanyalah mengada-ada karena sekarang ia justru memadu kasih dengan Raden Samba.

Prabu Boma marah mendengarnya. Ia mohon pamit untuk melabrak adiknya itu. Namun, Batari Pretiwi mencegah. Apa gunanya menyalahkan Raden Samba apabila Dewi Agnyanawati ternyata bukan wanita setia? Kecuali jika Raden Samba yang memaksa, boleh kiranya Prabu Boma membela istrinya. Namun, Dewi Agnyanawati sendiri juga melayani Raden Samba tanpa mengajukan syarat aneh-aneh segala.

Prabu Boma terdiam merenungi ucapan ibunya. Ia lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Trajutresna untuk menceraikan Dewi Agnyanawati dan menyerahkannya kepada Raden Samba.

PRABU BOMA MENGUTUS PATIH PANCADNYANA MENJEMPUT RADEN SAMBA

Prabu Boma telah sampai dan ia heran melihat istana Trajutresna kacau balau. Patih Pancadnyana melaporkan bahwa Dewi Agnyanawati telah berselingkuh dengan Raden Samba. Prabu Boma menjawab dirinya sudah tahu dan merestui hubungan mereka. Istri yang mencintai laki-laki lain, untuk apa dipertahankan?

Patih Pancadnyana berkata bahwa Arya Gatutkaca juga datang mengacau Kerajaan Trajutresna dan melarikan Raden Samba beserta Dewi Agnyanawati. Prabu Boma menjawab, Arya Gatutkaca mungkin rindu kepadanya karena sudah lama tidak berlatih bersama. Ia justru memarahi Patih Pancadnyana dan para prajurit raksasa yang tidak memperlakukan Arya Gatutkaca dengan sopan.

Patih Pancadnyana heran, mengapa watak rajanya yang biasanya pemarah kini berubah menjadi sabar seperti ini. Prabu Boma tidak mau memperpanjang masalah. Ia memerintahkan Patih Pancadnyana untuk menyusul Raden Samba dan Dewi Agnyanawati, karena mereka akan dinikahkan di Kerajaan Trajutresna oleh Prabu Boma sendiri. Patih Pancadnyana merasa heran, namun tidak berani membantah. Setelah menerima surat dari rajanya, barulah ia berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.

PRABU KRESNA MEMARAHI RADEN SAMBA DAN DEWI AGNYANAWATI

Raden Samba dan Dewi Agnyanawati telah diturunkan oleh Arya Gatutkaca di Kerajaan Dwarawati dan mereka langsung menghadap Prabu Kresna. Tampak Prabu Kresna sangat marah melihat ulah Raden Samba. Mengenai kematian Resi Gunadewa tidak membuat marah Prabu Kresna, karena Resi Gunadewa gugur secara kesatria mempertahankan Astana Gandamadana yang hendak digusur Ditya Yayahgriwa. Sebaliknya, ulah Raden Samba sama sekali bukan perbuatan kesatria, melainkan perbuatan seorang pengecut yang memalukan.

Dewi Agnyanawati menyela ikut bicara membela Raden Samba. Bukan Raden Samba yang membawa dirinya kabur, tetapi ia sendiri yang ingin ikut dibawa ke Kerajaan Dwarawati. Prabu Kresna semakin marah dan menyebut Dewi Agnyanawati perempuan tercela yang tidak bisa menjaga kehormatan diri, kehormatan suami, serta kehormatan rumah tangga. Jika memang Dewi Agnyanawati tidak mencintai Prabu Boma, mengapa tidak terus terang saja minta diceraikan? Mengapa pula harus mempermainkan perasaan Prabu Boma dengan mengajukan syarat aneh-aneh segala, yang kini bahkan menelan tiga nyawa, yaitu Resi Gunadewa, Raden Wisata, dan Ditya Yayahgriwa.

Dewi Agnyanawati tertunduk malu bercampur takut. Raden Samba yang seumur hidup selalu dimanja oleh Prabu Kresna, baru kali ini ia melihat sang ayah marah besar kepadanya. Sebaliknya, Prabu Kresna sendiri juga tidak tega melihat Raden Samba tertunduk ketakutan di hadapannya. Ia menghela napas, lalu menyuruh Raden Samba dan Dewi Agnyanawati untuk segera mandi air bunga, menghilangkan kotoran jiwa mereka, sambil menunggu keputusan hukuman lebih lanjut.

PATIH PANCADNYANA MENJEMPUT RADEN SAMBA DAN DEWI AGNYANAWATI

Tidak lama kemudian, datanglah Patih Pancadnyana menghadap Prabu Kresna. Setelah menghaturkan sembah, ia pun menyerahkan surat dari rajanya kepada Prabu Kresna. Prabu Kresna membaca surat itu dan ternyata benar tulisan tangan Prabu Boma. Isinya ialah permohonan maaf karena Prabu Boma tidak bisa melanjutkan rumah tangga dengan Dewi Agnyanawati karena istrinya itu lebih mencintai Raden Samba. Dalam hal ini Prabu Boma lebih mementingkan persaudaraan daripada perkawinan yang tidak sepenuh hati. Maka, Prabu Boma pun berniat menikahkan Raden Samba dan Dewi Agnyanawati di Kerajaan Trajutresna, karena Dewi Agnyanawati sudah menjadi warga negara di sana. Hendaknya mereka berdua diizinkan ikut pergi bersama Patih Pancadnyana yang memang dikirim Prabu Boma untuk menjemput.

Prabu Kresna terharu membaca isi surat Prabu Boma. Ia pun memanggil Raden Samba dan Dewi Agnyanawati untuk menjelaskan kehendak Prabu Boma kepada mereka. Raden Samba dan Dewi Agnyanawati merasa takut apabila kembali ke Kerajaan Trajutresna, namun Prabu Kresna menjamin mereka akan baik-baik saja. Karena sang ayah sudah menjamin demikian, maka Raden Samba dan Dewi Agnyanawati pun bersedia ikut bersama Patih Pancadnyana.

Setelah ketiganya pergi, Raden Arjuna muncul dan menanyakan ke mana perginya Raden Samba. Prabu Kresna menjawab bahwa Raden Samba baru saja berangkat bersama Dewi Agnyanawati karena dijemput Patih Pancadnyana. Rencananya, mereka berdua akan dinikahkan oleh Prabu Boma di Kerajaan Trajutresna.

Raden Arjuna terkejut mendengarnya. Ia heran mengapa Prabu Kresna begitu polos, membiarkan Raden Samba pergi ke tempat Prabu Boma Narakasura. Ia yakin pasti Raden Samba akan menerima hukuman mati di sana. Raden Arjuna tidak rela cucunya yang akan lahir menjadi anak yatim. Ia pun bergegas menyusul kepergian Patih Pancadnyana dan rombongan.

Dengan mengandalkan Aji Saipi Angin, Raden Arjuna berhasil menyusul Patih Pancadnyana. Tanpa banyak bicara ia menendang patih raksasa tersebut, lalu membawa Raden Samba beserta Dewi Agnyanawati kembali ke Kerajaan Dwarawati.

PRABU BOMA NARAKASURA MENYERANG KERAJAAN DWARAWATI

Patih Pancadnyana sangat kesal dirinya terlibat dalam urusan rumah tangga yang tidak jelas ini. Ia merasa dipermainkan oleh Prabu Boma dan Raden Arjuna. Maka, mereka berdua harus diadu domba sebagai pembalasan. Patih Pancadnyana yang sudah dirasuki perasaan dendam itu pun mengiris telinganya sendiri, lalu menulis surat yang ditempelkan pada luka bekas irisan tersebut.

Sesampainya di Kerajaan Trajutresna, Patih Pancadnyana meraung-raung di hadapan Prabu Boma. Prabu Boma lalu mengambil surat yang menempel pada sisi kepala Patih Pancadnyana yang sudah kehilangan sebelah telinga. Surat berlumuran darah itu seolah ditulis Raden Arjuna yang berisi tantangan, bahwa Prabu Boma harus merebut Raden Samba dan Dewi Agnyanawati melalui peperangan apabila memang benar-benar jantan. Raden Arjuna tidak sudi ditipu dengan cara licik, seolah-olah mereka berdua hendak dinikahkan di Kerajaan Trajutresna. Itu omong kosong belaka. Demikianlah isi surat tersebut.

Prabu Boma marah dan merobek-robek surat itu. Sejak tadi ia menahan marah karena istrinya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Meskipun ia mencoba ikhlas, namun isi surat yang kabarnya ditulis Raden Arjuna telah menyakiti harga dirinya. Kebaikannya dianggap palsu, dan ini sungguh suatu penghinaan baginya. Prabu Boma pun memerintahkan Patih Pancadnyana untuk mempersiapkan semua pasukan Trajutresna. Bersama-sama mereka berangkat menggempur Kerajaan Dwarawati. Prabu Boma tampak gagah duduk di atas kendaraannya yang berwujud burung garuda berkepala raksasa, bernama Paksi Wilmuna.

Dalam perjalanan itu, Prabu Boma melihat Arya Wrekodara seorang diri. Ia pun mendarat menemui pamannya tersebut. Rupanya Arya Wrekodara sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati untuk menyusul Raden Arjuna dan Arya Gatutkaca. Setelah mendengar cerita Prabu Boma tentang perselingkuhan Raden Samba dengan Dewi Agnyanawati, juga tentang Raden Arjuna yang menantang perang dirinya, Arya Wrekodara merasa sangat terkejut. Dasar watak Arya Wrekodara yang selalu bersikap adil, ia pun ikut bergabung di pihak Prabu Boma untuk menemani keponakannya itu menuntut keadilan.

PERTEMPURAN DI KERAJAAN DWARAWATI

Prabu Boma Narakasura dan pasukannya telah sampai di wilayah Kerajaan Dwarawati. Kebetulan mereka bertemu Prabu Baladewa yang memimpin pasukan Mandura untuk meminta pertanggungjawaban atas kematian Raden Wisata. Tadinya Prabu Baladewa hendak membicarakan hal ini dengan Prabu Kresna. Namun, karena bertemu dengan Prabu Boma, amarahnya pun meluap seketika.

Prabu Baladewa memaki Prabu Boma tidak tahu diri. Demi wanita rela membunuh saudara sendiri. Prabu Boma memohon maaf atas kematian Raden Wisata. Namun, Prabu Baladewa tetap menuntut nyawa dibayar nyawa. Arya Wrekodara menjawab, pembunuh Raden Wisata adalah Ditya Yayahgriwa yang sudah mati dibunuh Arya Setyaki. Prabu Baladewa tidak peduli dan menuduh Ditya Yayahgriwa tentu mendapat perintah dari rajanya.

Prabu Baladewa yang semakin marah berniat hendak membunuh Prabu Boma. Arya Wrekodara maju menghadapinya. Keduanya lalu bertarung seru, diikuti pasukan Mandura bertempur melawan pasukan Trajutresna. Berita ini pun terdengar oleh Arya Setyaki dan Patih Udawa. Mereka segera mengerahkan pasukan Dwarawati untuk membantu pihak Mandura melawan pasukan Trajutresna, karena sakit hati atas kematian Resi Gunadewa dan Raden Wisata.

PRABU BOMA MENYIKSA RADEN SAMBA

Dalam kekacauan itu, Prabu Boma tidak ingin terlibat lebih jauh. Ia segera naik ke punggung Paksi Wilmuna untuk kemudian terbang mencari Raden Samba dan Dewi Agnyanawati. Rupanya kedua orang itu sedang berkasih-kasihan di dalam Taman Banoncinawi. Prabu Boma pun turun mendarat di hadapan mereka.

Raden Samba yang sedang memeluk Dewi Agnyanawati dari belakang merasa terkejut. Prabu Boma berusaha ikhlas melihatnya, namun pikirannya terbayang betapa selama ini ia berusaha untuk bisa mendapatkan perhatian Dewi Agnyanawati, ternyata semuanya sia-sia belaka.

Paksi Wilmuna melihat rajanya sedang bimbang. Ia pun berbisik agar Prabu Boma memantapkan hati. Bagaimanapun juga Raden Samba adalah penjahat yang sudah merusak rumah tangga orang lain. Hukum harus ditegakkan. Prabu Boma termakan ucapan Paksi Wilmuna. Ia lalu menarik tangan Raden Samba yang masih memeluk Dewi Agnyanawati. Raden Samba pun menjerit kesakitan. Rupanya kedua lengannya telah putus akibat tarikan Prabu Boma yang terlalu keras.

Dewi Agnyanawati menjerit ketakutan, sedangkan mata Raden Samba melotot menahan sakit, jangan sampai ia menangis di hadapan sang kekasih. Paksi Wilmuna kembali berbisik kepada Prabu Boma, bahwa mata Raden Samba yang melotot itu pernah melihat tubuh Dewi Agnyanawati telanjang tanpa busana.

Prabu Boma sebenarnya menyesal telah menarik putus lengan Raden Samba. Namun mendengar ucapan Paksi Wilmuna, ia kembali terbakar amarah. Selama menikah dengan Dewi Agnyanawati, ia sama sekali belum pernah melihat istrinya telanjang. Namun, Raden Samba yang tidak ikut memberi nafkah justru pernah menyaksikan Dewi Agnyanawati tanpa busana dan menggaulinya. Dalam amarahnya itu, jari tangan Prabu Boma bergerak kejam mencongkel kedua bola mata Raden Samba hingga terjulur keluar, bergantung-gantung di pipi kiri dan kanan.

Menyadari keadaannya sudah cacat parah, Raden Samba tidak merintih, tetapi justru tertawa pahit karena merasa umurnya tidak akan lama lagi. Sebaliknya, Prabu Boma justru menangis tersedu-sedu karena telah berbuat sedemikian kejam kepada sang adik. Paksi Wilmuna kembali berkata, bahwa mulut Raden Samba yang tertawa itu pernah digunakan untuk mencium dan menggigit bibir Dewi Agnyanawati. Prabu Boma kembali terbakar amarah dan tangannya pun merobek mulut Raden Samba hingga menganga lebar.

Prabu Boma tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Seperti kesetanan, ia menarik kepala Raden Samba hingga leher putus, serta mengeluarkan isi perut adiknya itu hingga berserakan di tanah. Dewi Agnyanawati yang menyaksikan peristiwa itu tidak bisa menangis lagi. Air matanya seolah kering dan mulutnya seolah bisu. Prabu Boma berdiri menghampirinya dan mengajak Dewi Agnyanawati pulang ke Kerajaan Trajutresna. Namun, Dewi Agnyanawati berlari mendekati mayat Raden Samba, mengambil keris yang terselip di pinggang kekasihnya itu, lalu bunuh diri menusuk leher sendiri.

PRABU BOMA BERPAMITAN KEPADA PRABU KRESNA

Prabu Boma terkesima menyaksikan Raden Samba dan Dewi Agnyanawati telah mati bersama. Ia juga tidak menyalahkan Paksi Wilmuna yang telah menghasut dirinya, karena yang salah adalah ia sendiri yang tidak dapat mengendalikan diri.

Tiba-tiba datang Prabu Kresna di tempat itu sambil menggendong seorang bayi. Ia terkejut melihat Prabu Boma telah membunuh Raden Samba dengan kejam, serta Dewi Agnyanawati pun bunuh diri menusuk leher sendiri. Prabu Kresna tidak menyalahkan Prabu Boma, tetapi justru menyalahkan diri sendiri yang terlalu memanjakan Raden Samba sejak kecil, sehingga kini mendatangkan aib bagi Kerajaan Dwarawati. Jika memang Raden Samba harus mati seperti ini, mungkin memang ini sudah menjadi hukum karma baginya.

Prabu Boma tetap merasa bersalah meskipun Prabu Kresna tidak menyalahkan dirinya. Ia pun mohon pamit untuk terjun ke dalam peperangan yang sedang berkecamuk di luar supaya bisa mati sebagai kesatria. Prabu Kresna berkata, silakan Prabu Boma bertarung melawan siapa saja, asal jangan menyakiti Raden Arjuna.

Prabu Boma mematuhi pesan tersebut. Ketika hendak berangkat, ia lebih dulu bertanya siapa bayi yang sedang digendong Prabu Kresna. Prabu Kresna menjawab, bayi laki-laki dalam gendongannya adalah putra Raden Samba yang lahir dari Dewi Sugatawati. Dengan disaksikan Prabu Boma, Prabu Kresna pun memberinya nama Raden Dwara yang bermakna “pintu”. Maksudnya ialah, semoga kelak Raden Dwara bisa menebus dosa-dosa Raden Samba, dan menjadi pintu bagi ayahnya memasuki Swargaloka.

Prabu Boma ikut mendoakan nama tersebut semoga bisa menjadi kenyataan. Ia lalu teringat pada putra angkatnya yang bernama Raden Swarka, yaitu putra kandung Prabu Bomantara yang dulu mati di tangannya. Prabu Boma berpesan apabila dirinya tewas, maka Raden Swarka jangan disakiti, dan biarlah putra angkatnya itu mewarisi Kerajaan Trajutresna. Prabu Kresna mengabulkan permintaan tersebut. Prabu Boma lalu naik ke atas Paksi Wilmuna dan mereka pun terbang ke angkasa.

PRABU BOMA MENGAMUK DALAM PEPERANGAN

Pertempuran di luar istana Kerajaan Dwarawati masih berlangsung sengit. Gabungan pasukan Dwarawati dan Mandura tampak unggul mendesak pasukan Trajutresna. Ditya Amisunda sudah tewas di tangan Arya Setyaki, Ditya Mahodara tewas di tangan Patih Udawa, sedangkan Ditya Ancakogra tewas di tangan Arya Gatutkaca. Sementara itu, Prabu Baladewa masih bertarung imbang melawan Arya Wrekodara, sedangkan Patih Pancadnyana melawan Raden Arjuna.

Prabu Boma Narakasura terjun ke tanah menghadapi Raden Partajumena. Kematian Resi Gunadewa dan Raden Wisata membuat Raden Partajumena tidak lagi menganggap Prabu Boma sebagai saudara tua. Ia pun menghujani Prabu Boma dengan ratusan anak panah. Prabu Boma tidak mampu menghindar dan akhirnya tewas terkena panah-panah itu. Namun, Aji Pancasunya yang dimiliki Prabu Boma membuatnya hidup kembali begitu jasadnya menyentuh tanah.

Raden Partajumena kembali menyerang Prabu Boma dengan panah-panahnya. Prabu Boma berkali-kali tewas, namun selalu saja hidup kembali ketika menyentuh tanah. Pertarungan ini membuat Raden Partajumena letih dan ganti dirinya yang terdesak oleh serangan Prabu Boma. Namun, tiba-tiba Raden Setyaka muncul menyambar tubuh kakaknya itu dan membawanya kabur. Raden Partajumena marah karena ia merasa lebih baik mati daripada meninggalkan pertempuran seperti ini. Raden Setyaka menjawab dirinya sudah kehilangan Resi Gunadewa, Raden Wisata, dan Raden Samba, maka tidak ingin kehilangan satu orang saudara lagi. Raden Partajumena pun terkejut mendengar Raden Samba sudah meninggal pula.

Prabu Boma kembali mengamuk, kali ini ia bertarung menghadapi saingan lamanya, yaitu Arya Gatutkaca. Keduanya pun bertarung di angkasa. Arya Gatutkaca yang bisa terbang mampu mengimbangi Prabu Boma yang mengendarai Paksi Wilmuna. Mereka bertarung sengit seperti yang sudah sering terjadi. Namun, tiba-tiba pandangan Prabu Boma beralih melihat Patih Pancadnyana yang tewas terbunuh oleh Raden Arjuna. Amarahnya pun meluap karena Patih Pancadnyana selama ini sudah dianggap bagaikan paman sendiri. Prabu Boma pun melupakan pesan Prabu Kresna. Dengan sekuat tenaga, ia mengarahkan Paksi Wilmuna menerjang Raden Arjuna, meninggalkan pertarungannya melawan Arya Gatutkaca.

Raden Arjuna tidak menyangka dirinya diterjang Prabu Boma dengan mengendarai Paksi Wilmuna. Kain yang dipakai Raden Arjuna pun lepas terkena cakar Paksi Wilmuna sehingga pahanya terlihat jelas. Raden Arjuna merasa malu tak terbayangkan. Ia lalu melesat pergi meninggalkan peperangan.

AKHIR HAYAT PRABU BOMA NARAKASURA

Prabu Kresna menyaksikan Prabu Boma telah melanggar pesannya untuk tidak menyerang Raden Arjuna. Ia lalu memerintahkan Arya Gatutkaca untuk mengambil Anjang-Anjang Kencana yang tersimpan di dalam gedung pusaka Kerajaan Dwarawati. Dahulu Arya Gatutkaca pernah bertarung melawan Prabu Boma demi memperebutkan Wahyu Senapati. Topeng Waja yang dikenakan Arya Gatutkaca hancur dihantam Gamparan Kencana milik Batara Ekawarna yang dilemparkan Prabu Boma ke arahnya. Pecahan Topeng Waja dan Gamparan Kencana lalu dibawa Batara Narada untuk dilebur Batara Ramayadi menjadi Anjang-Anjang Kencana sebagai sarana kematian Prabu Boma kelak. Pusaka Anjang-Anjang Kencana lalu diserahkan kepada Prabu Kresna untuk disimpan di gedung pusaka Kerajaan Dwarawati.

Arya Gatutkaca memahami perintah Prabu Kresna. Ia lalu masuk ke dalam gedung pusaka untuk mengambil benda tersebut. Sementara itu, Prabu Kresna datang menemui Prabu Boma dan menegur putranya itu yang telah menyakiti Raden Arjuna. Prabu Boma bertanya mengapa Raden Arjuna diistimewakan, tidak boleh diserang olehnya. Prabu Kresna berkata bahwa Prabu Boma sesungguhnya adalah putra Batara Wisnu yang lahir dari Batari Pretiwi. Adapun Batara Wisnu telah membelah penitisannya, yang setengah menitis kepada Prabu Kresna, sedangkan yang setengah menitis kepada Raden Arjuna. Dengan demikian, apabila Prabu Boma menyerang Raden Arjuna itu sama saja durhaka kepada ayah sendiri.

Prabu Boma kesal mengapa tidak dijelaskan dari awal. Ia merasa ini semua sudah kepalang tanggung. Perang ini telah merenggut banyak nyawa. Patih Pancadnyana dan semua punggawa raksasa Trajutresna yang selama ini menemani dirinya berjuang telah tewas. Tidak ada lagi gunanya hidup di dunia jika tanpa teman di sampingnya. Prabu Boma pun berniat mencari mati di tangan Batara Wisnu, ayahnya sendiri. Ia lalu mengarahkan Paksi Wilmuna terbang ke angkasa, kemudian meluncur turun menerjang Prabu Kresna.

Prabu Kresna paham maksud Prabu Boma. Ia pun melepaskan senjata Cakra untuk menjemput serangan Prabu Boma. Senjata Cakra melesat memotong leher Paksi Wilmuna dan menembus dada Prabu Boma. Tubuh Prabu Boma pun melayang jatuh ke tanah. Namun, Arya Gatutkaca muncul mengusung Anjang-Anjang Kencana menjemputnya. Tubuh Prabu Boma tidak sampai menyentuh tanah, tetapi tertahan di atas pusaka tersebut. Hal ini membuat Aji Pancasunya tidak berfungsi, sehingga Prabu Boma tidak dapat hidup kembali seperti tadi.

PERANG GOJALISUTA BERAKHIR

Melihat Prabu Boma telah tewas, Arya Wrekodara dan Prabu Baladewa pun menghentikan pertarungan mereka. Pada saat itulah datang ayah kandung Dewi Agnyanawati, yaitu Prabu Krentagnyana raja Giyantipura yang hendak membantu Prabu Boma. Arya Wrekodara maju menghalangi dan pukulannya pun menewaskan raja tersebut.

Tidak lama kemudian datang pula Batari Pretiwi. Ia menemui Prabu Kresna untuk menjemput pulang roh Prabu Boma Narakasura. Prabu Kresna mempersilakan. Perlahan-lahan roh Prabu Boma keluar setelah terjebak di dalam Anjang-Anjang Kencana. Bersama Batari Pretiwi, roh Prabu Boma yang kembali bernama Batara Sitija, mohon pamit kepada Prabu Kresna untuk kemudian kembali ke kahyangan.

Setelah ditinggalkan rohnya, jasad Prabu Boma yang masih terbaring di atas Anjang-Anjang Kencana pun musnah menjadi tanah. Asalnya dari tanah kembali menjadi tanah. Perang Gojalisuta kini berakhir, yaitu perang antara ayah dan anak yang menyebabkan banyak jatuh korban jiwa.

------------------------------ TANCEB KAYON------------------------------


Cerita Wayang Boma Rabi




Prabu Boma Narakasura.


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa memimpin pertemuan dihadap Raden Partajumena, Raden Setyaka, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Dalam pertemuan itu mereka membicarakan tentang putra mahkota, yaitu Raden Samba Wisnubrata yang sudah satu bulan ini menginap di Astana Gandamadana. Prabu Kresna khawatir Raden Samba lupa pulang, mengingat Dewi Sugatawati saat ini sedang mengandung. Kurang sepuluh hari dari sekarang, Prabu Kresna berniat mengadakan upacara mitoni untuk menantunya tersebut.

Tiba-tiba datanglah putra yang lain, yaitu Prabu Boma Narakasura raja Trajutresna. Kedatangan Prabu Boma ialah untuk meminta restu kepada Prabu Kresna atas rencana pernikahannya dengan putri Prabu Krentagnyana raja Giyantipura yang bernama Dewi Agnyanawati. Meskipun Dewi Agnyanawati adalah keponakan Patih Pancadnyana, namun ia tidak langsung menerima pinangan Prabu Boma. Gadis itu mengajukan syarat dirinya bersedia menjadi istri Prabu Boma Narakasura asalkan diberi mas kawin berupa bunga kahyangan bernama Kembang Parijata.

Prabu Boma yang tidak pernah mengetahui adanya bunga tersebut segera menghadap Prabu Kresna untuk meminta petunjuk. Prabu Kresna berkata bahwa segala macam jenis bunga ada di Kahyangan Pustaka-kawedar yang dipimpin Batara Kuwera. Apabila Prabu Boma menginginkan bunga tersebut, hendaknya pergi ke sana dan meminta langsung kepada Batara Kuwera. Prabu Boma gembira menerima petunjuk tersebut. Ia lalu mohon pamit meninggalkan pertemuan.

Setelah Prabu Boma pergi, Prabu Kresna kembali membicarakan tentang Raden Samba. Ia lantas memerintahkan Raden Partajumena dan Arya Setyaki agar pergi ke Astana Gadamadana untuk menjemput pulang Raden Samba di sana. Raden Partajumena dan Arya Setyaki mohon pamit melaksanakan perintah. Prabu Kresna lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton.

PRABU BANAKATONG INGIN MENIKAHI DEWI AGNYANAWATI

Tersebutlah seorang raja dari negeri Pasirsegara yang bernama Prabu Banakatong. Beberapa tahun yang lalu ia pernah melamar Dewi Agnyanawati sebagai istrinya. Namun, saat itu Dewi Agnyanawati masih belum cukup umur, sehingga Prabu Krentagnyana belum bisa menerima pinangan tersebut. Prabu Banakatong bersedia menunggu Dewi Agnyanawati dewasa. Kini ia merasa waktunya telah tiba. Prabu Banakatong segera mempersiapkan pasukan dan berangkat menuju Kerajaan Giyantipura.

Dalam perjalanannya itu, rombongan Prabu Banakatong bertemu Raden Partajumena dan Arya Setyaki yang sedang dalam perjalanan menuju Astana Gandamadana untuk mencari Raden Samba. Terjadi perselisihan di antara mereka yang berlanjut dengan pertempuran. Raden Partajumena dan Arya Setyaki berdua saja menandingi pasukan Pasirsegara. Karena jumlah musuh terlalu banyak, lama-lama mereka terdesak juga. Raden Partajumena dan Arya Setyaki akhirnya meloloskan diri, mencari jalan lain menuju Astana Gandamadana.

RADEN ARJUNA BERTEMU RADEN PARTAJUMENA DAN ARYA SETYAKI

Raden Arjuna sang Panegah Pandawa saat itu sedang berkelana bersama para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Di tengah jalan mereka melihat beberapa raksasa dari Kerajaan Pasirsegara yang terpisah dari rombongan Prabu Banakatong. Para raksasa itu tampak sedang berbuat onar, mengganggu masyarakat pedesaan. Raden Arjuna pun turun tangan menumpas mereka.

Setelah semua raksasa itu terbunuh, tiba-tiba muncul Raden Partajumena dan Arya Setyaki yang sedang dalam perjalanan menuju Astana Gandamadana. Setelah saling memberi salam dan bertanya tujuan, Raden Arjuna merasa tertarik ingin ikut pergi ke Astana Gandamadana menjemput Raden Samba, mengingat Dewi Sugatawati adalah putrinya pula. Arya Setyaki dan Raden Partajumena mempersilakan, lalu mereka pun pergi bersama-sama.

PRABU BOMA MENDATANGI KAHYANGAN PUSTAKA-KAWEDAR

Sementara itu, Prabu Boma Narakasura yang didampingi Patih Pancadnyana serta para punggawa lainnya, seperti Ditya Yayahgriwa, Ditya Amisunda, Ditya Mahodara, dan Ditya Ancakogra telah sampai di Kahyangan Pustaka-kawedar. Batara Kuwera menyambut kedatangan mereka dan bertanya ada keperluan apa Prabu Boma datang ke tempatnya. Prabu Boma berkata bahwa dirinya ingin melihat wujud Kembang Parijata. Batara Kuwera pun mengantarkan Prabu Boma ke Taman Sugandika untuk memperlihatkan bunga tersebut.

Setelah melihat wujud bunga itu, Prabu Boma berkata terus terang bahwa ia ingin memiliki Kembang Parijata sebagai mas kawin untuk menikahi Dewi Agnyanawati. Batara Kuwera menjawab, bahwa dirinya mendapat pesan dari Batara Guru mengenai Kembang Parijata yang kelak hendaknya diberikan kepada putra Prabu Kresna. Prabu Boma berkata dirinya adalah putra Prabu Kresna, sehingga berhak mendapatkan bunga pusaka tersebut. Batara Kuwera tidak setuju, karena ia tahu jelas bahwa Prabu Boma adalah putra Batara Wisnu, bukan putra Prabu Kresna. Meskipun Batara Wisnu sudah menitis ke dalam raga Prabu Kresna, tetap saja Prabu Boma adalah putra Batara Wisnu.

Prabu Boma marah diperlakukan seperti ini. Ia pun mengamuk memaksa Batara Kuwera agar menyerahkan Kembang Parijata kepadanya. Batara Kuwera dengan tangkas menghadapi amukannya. Keduanya lalu bertarung sengit. Patih Pancadnyana dan para punggawa Trajutresna ikut maju menyerang Batara Kuwera. Batara Kuwera dengan gagah berani mampu menandingi mereka semua. Meskipun demikian, tetap saja ia hanya seorang diri yang dikeroyok raksasa sebanyak itu. Batara Kuwera lama-lama letih juga dan sebuah pukulan Prabu Boma membuat ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Prabu Boma kemudian menghampiri Kembang Parijata dan memetiknya. Pada saat itulah Batara Kuwera bangun dari pingsan dan langsung menghantam dada Prabu Boma menggunakan gada pusaka. Prabu Boma terpental hingga keluar kahyangan, sedangkan Kembang Parijata yang ada di tangannya ikut terlempar entah ke mana. Melihat itu, Patih Pancadnyana dan para punggawa raksasa segera mengejar, meninggalkan Kahyangan Pustaka-kawedar.

RADEN SAMBA MENERIMA KEMBANG PARIJATA

Di Astana Gandamadana, Resi Gunadewa dihadap adik kandungnya, yaitu Raden Samba Wisnubrata yang sudah satu bulan ini menginap di sana. Resi Gunadewa dan Raden Samba adalah putra Prabu Kresna yang lahir dari ibu yang sama, yaitu Dewi Jembawati. Kedua orang tua Dewi Jembawati adalah Resi Jembawan dan Dewi Trijata, yang keduanya dulu diangkat Prabu Basudewa menjadi juru kunci Astana Gandamadana, tempat Prabu Kuntiboja dimakamkan. Hingga kemudian Resi Jembawan dan Dewi Trijata mendapat permohonan dari Prabu Kresna untuk mengasuh Raden Gunadewa yang terlahir berbulu lebat seperti wanara. Sejak kecil Raden Gunadewa lebih banyak mengurung diri di dalam Astana Gandamadana, mempelajari kitab suci dan belajar meditasi. Hingga akhirnya setelah Resi Jembawan dan Dewi Trijata meninggal, ia pun menggantikan kedudukan kakek dan neneknya itu sebagai juru kunci astana.

Selama satu bulan ini Raden Samba menginap di Astana Gandamadana. Resi Gunadewa lama-lama merasa curiga. Raden Samba yang biasanya manja dan jarang keluar istana, mengapa kali ini bisa meninggalkan Kerajaan Dwarawati begitu lama. Akhirnya, ia pun bertanya ada masalah apa yang sebenarnya sedang dihadapi adiknya tersebut. Raden Samba bercerita bahwa sebulan yang lalu dirinya mimpi bertemu seorang putri berwajah cantik jelita. Sayangnya, belum sempat mengetahui nama gadis tersebut, ia terlanjur bangun dari tidur. Namun, sejak peristiwa itu rasa cintanya kepada sang istri, yaitu Dewi Sugatawati menjadi berkurang. Siang malam Raden Samba hanya membayangkan wajah gadis dalam mimpinya tersebut. Ia tidak peduli lagi pada Dewi Sugatawati yang sebentar lagi kandungannya berusia tujuh bulan.

Resi Gunadewa menasihati Raden Samba agar jangan terbuai pada mimpinya. Mimpi itu hanyalah bunga tidur belaka. Daripada sibuk memikirkan sesuatu yang tidak nyata, lebih baik menjaga dan merawat apa yang sudah di tangan, yaitu Dewi Sugatawati. Apalagi saat ini Dewi Sugatawati sedang hamil, sebentar lagi akan melahirkan keturunan untuk Raden Samba. Harusnya Raden Samba bersyukur, bukannya berandai-andai membayangkan perempuan lain yang belum tentu ada.

Raden Samba tersadarkan oleh nasihat kakaknya. Selama ini ia hanya memendam kegelisahan, tidak berani bercerita kepada ayah dan ibu. Baru kali ini ia menceritakan isi hatinya dan langsung mendapatkan pencerahan dari sang kakak.

Tiba-tiba dari angkasa turun melayang sekuntum bunga yang jatuh di pangkuan Raden Samba. Bunga tersebut tidak lain adalah Kembang Parijata yang terlempar dari Kahyangan Pustaka-kawedar.

PRABU BOMA MEMINTA KEMBANG PARIJATA

Tidak lama kemudian datanglah Raden Arjuna, Arya Setyaki, dan Raden Partajumena di Astana Gandamadana tersebut. Setelah saling memberi salam, Arya Setyaki pun menyampaikan pesan Prabu Kresna bahwa Raden Samba diminta untuk segera pulang, karena sepuluh hari lagi Dewi Sugatawati harus menjalani upacara mitoni, yaitu selamatan tujuh bulan usia kandungannya.

Belum sempat Raden Samba menjawab, Prabu Boma mendadak datang pula di tempat itu. Melihat Kembang Parijata ada di tangan Raden Samba, Prabu Boma segera meminta bunga tersebut agar diserahkan kepadanya, karena bunga itu adalah mas kawin untuk menikahi Dewi Agnyanawati. Tiba-tiba, datang pula Batara Kuwera yang menjelaskan bahwa Kembang Parijata hanya boleh dimiliki putra Prabu Kresna. Meskipun Prabu Boma memanggil Prabu Kresna sebagai ayah, tetap saja tidak masuk hitungan, karena sesungguhnya Prabu Boma adalah putra Batara Wisnu.

Prabu Boma marah dan menantang Batara Kuwera untuk melanjutkan pertarungan tadi. Raden Arjuna maju melerai. Ia menasihati Prabu Boma agar jangan menentang keputusan dewata. Jika dewa sudah menetapkan peraturan seperti itu, maka tidak baik apabila ada manusia menentangnya. Prabu Boma semakin marah dan melarang Raden Arjuna ikut campur. Sejak dulu ia tahu kalau pamannya itu tidak suka kepadanya. Ia pun menantang Raden Arjuna bertarung apabila memang ingin menggantikan Batara Kuwera.

Dasar watak Raden Arjuna yang mudah marah, ia pun melayani tantangan Prabu Boma. Keduanya lalu bertarung di halaman Astana Gandamadana tanpa ada yang bisa melerai. Setelah menyaksikan pertarungan mereka yang cukup lama tanpa ada kejelasan siapa yang menang atau kalah, Raden Samba akhirnya maju menengahi.

Raden Samba berkata kepada Batara Kuwera bahwa Kembang Parijata sudah menjadi miliknya, maka terserah dirinya digunakan untuk apa. Ia lalu menghampiri Prabu Boma dan menyerahkan bunga tersebut kepadanya. Prabu Boma sangat berterima kasih dan memeluk Raden Samba.

Karena tugasnya telah selesai, Batara Kuwera undur diri kembali ke kahyangan. Raden Arjuna merasa kecewa dan ikut pergi tanpa pamit, disertai para panakawan.

RADEN SAMBA INGIN MENYAKSIKAN PERNIKAHAN PRABU BOMA

Sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, Prabu Boma pun mengajak Raden Samba sebagai saksi atas perkawinannya dengan Dewi Agnyanawati di Kerajaan Giyantipura. Raden Samba menerima undangan itu dengan senang hati. Arya Setyaki mengingatkan Raden Samba atas panggilan Prabu Kresna. Raden Samba menjawab, upacara mitoni Dewi Sugatawati masih sepuluh hari lagi. Saat ini yang ingin ia lakukan hanyalah menyaksikan perkawinan kakaknya.

Arya Setyaki dan Raden Partajumena lalu berunding membagi tugas. Arya Setyaki kembali ke Kerajaan Dwarawati untuk melapor kepada Prabu Kresna, sedangkan Raden Partajumena mengawal Raden Samba untuk mengingatkan pulang apabila acara pernikahan Prabu Boma telah selesai. Adapun Resi Gunadewa tetap tinggal di Astana Gandamadana karena ia tidak berani meninggalkan tugasnya tanpa seizin Prabu Kresna.

RADEN SAMBA BERTEMU MATA DENGAN DEWI AGNYANAWATI

Demikianlah, Prabu Boma telah berbusana pengantin diarak menuju Kerajaan Giyantipura. Raden Samba dan Raden Partajumena ikut di dalam rombongan, berbaur dengan para punggawa raksasa. Sesampainya di sana, mereka disambut Prabu Krentagnyana dan Dewi Sumirat, bersama anak gadis mereka, yaitu si calon mempelai wanita Dewi Agnyanawati. Betapa terkejut hati Raden Samba saat menyaksikan ternyata Dewi Agnyanawati adalah perempuan yang pernah dijumpainya di alam mimpi dan ia rindukan siang-malam.

Sebaliknya, Dewi Agnyanawati juga tergetar perasaannya sewaktu menyaksikan Raden Samba berjalan di samping Prabu Boma. Tampak Prabu Boma menyerahkan Kembang Parijata kepadanya. Dewi Agnyanawati menerima bunga tersebut dengan perasaan menyesal. Ia membayangkan andai saja Raden Samba yang menyerahkan bunga pusaka ini kepadanya, alangkah bahagia.

Karena persyaratan mas kawin sudah diwujudkan oleh Prabu Boma, maka pernikahan di antara mereka pun dimulai. Ketika upacara mencuci kaki dilaksanakan, ternyata Dewi Agnyanawati justru mencuci kaki Raden Samba. Semua orang pun terkejut melihatnya, terutama Raden Samba yang menahan malu bercampur bahagia. Dewi Sumirat buru-buru membetulkan posisi Dewi Agnyanawati agar membasuh kaki Prabu Boma.

SERANGAN PRABU BANAKATONG

Upacara pernikahan antara Prabu Boma dan Dewi Agnyanawati telah selesai dan kemudian dilanjutkan dengan pesta meriah. Kedua mempelai duduk di atas pelaminan menerima ucapan selamat dari para tamu dan undangan. Wajah Prabu Boma tampak ceria dengan senyum riang tak tertahankan, sedangkan Dewi Agnyanawati terlihat murung tidak bergairah. Sesekali Dewi Agnyanawati mencuri pandang ke arah Raden Samba, dan ketika pandangan mereka bertemu ada perasaan malu-malu bercampur bahagia tak terlukiskan.

Tiba-tiba pesta pernikahan tersebut berubah menjadi kacau karena Prabu Banakatong dan pasukan Pasirsegara datang menyerang untuk merebut Dewi Agnyanawati. Prabu Boma marah hendak menghadapi serangan tersebut. Namun, Raden Samba mencegahnya karena tidak baik seorang pengantin turun tangan seperti ini. Raden Samba lalu memberi isyarat kepada Raden Partajumena agar segera bertindak.

Maka, berangkatlah Raden Partajumena bersama Patih Pancadnyana dan para raksasa Trajutresna menghadapi amukan tersebut. Pertempuran terjadi di alun-alun Kerajaan Giyantipura. Raden Partajumena tampak menghadapi Prabu Banakatong. Keduanya pun bertarung sengit, hingga akhirnya Prabu Banakatong tewas di tangan Raden Partajumena.

Melihat rajanya gugur, pasukan Pasirsegara menjadi kocar-kacir. Ada yang mati terbunuh, ada yang melarikan diri, dan ada yang menyerah takluk. Keadaan akhirnya tenang kembali. Prabu Krentagnyana pun melanjutkan pesta pernikahan putrinya dan mempersilakan para tamu menikmati hidangan.

------------------------------ TANCEB KAYON------------------------------

 

Catatan : Tokoh Prabu Banakatong adalah tambahan dari saya untuk meramaikan cerita.


Untuk kisah perkawinan Raden Samba dan Dewi Sugatawati bisa dibaca di sini.